Petani Sawit di Mamosalato dan Bungku Utara, di bodohi oleh Pengusaha Sawit, Murad Husain
Editor: Andri Muhamad Sondeng
Keresahan warga petani di Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara terkait penguasaan lahan sawit di wilayah ini diakibatkan oleh hasil yang diterima oleh para petani dari puluhan hektar lahan sawit milik mereka tidak sesuai dengan perjanjian awal.
Diawal-awal pembukaan lahan sawit yang berasal dari lahan pertanian milik warga, para petani dijanjikan keuntungan yang besar dari hasil perkebunan sawit. Sehingga tidak jarang, para petani banyak yang mengkonversi lahan sawah, kebun cokelat, kebun cengkeh milik mereka untuk dijadikan lahan perkebunan sawit. Dibelakang hari, kenyataannya para petani dirugikan dengan hasil yang sangat minim sekali.
Untuk mengetahui besaran jumlah pendapatan yang potensial di hasilkan dari setiap hektar lahan sawit milik petani, dapat diestimasi dengan beberapa variabel yang bisa diukur. Pertama-tama, mari kita bahas harga produk sawit olahan berupa CPO “Crude Palm Oil” di perdagangan internasional. Sebab harga CPO di pasar internasional, akan sangat mempengaruhi penetapan harga beli di tingkat Perusahaan Kelapa Sawit (PKS), yang pada akhirnya berimbas pula pada harga beli TBS (Tandan Buah Segar) di tingkat petani sawit.
Diawal-awal pembukaan lahan sawit yang berasal dari lahan pertanian milik warga, para petani dijanjikan keuntungan yang besar dari hasil perkebunan sawit. Sehingga tidak jarang, para petani banyak yang mengkonversi lahan sawah, kebun cokelat, kebun cengkeh milik mereka untuk dijadikan lahan perkebunan sawit. Dibelakang hari, kenyataannya para petani dirugikan dengan hasil yang sangat minim sekali.
Untuk mengetahui besaran jumlah pendapatan yang potensial di hasilkan dari setiap hektar lahan sawit milik petani, dapat diestimasi dengan beberapa variabel yang bisa diukur. Pertama-tama, mari kita bahas harga produk sawit olahan berupa CPO “Crude Palm Oil” di perdagangan internasional. Sebab harga CPO di pasar internasional, akan sangat mempengaruhi penetapan harga beli di tingkat Perusahaan Kelapa Sawit (PKS), yang pada akhirnya berimbas pula pada harga beli TBS (Tandan Buah Segar) di tingkat petani sawit.
Sebagai
studi kasus, kami menggunakan PT. Kurnia
Luwuk Sejati (KLS) sebagai bahan analisis dalam kajian ini. Tepatnya lahan sawit yang terletak di Kecamatan
Mamosalato dan Bungku Utara. Sasarannya adalah harga beli TBS di lahan
perkebunan sawit milik petani. Sehingga dapat menghitung berapa keuntungan yang
diperoleh oleh para petani sawit diwilayah ini.
Mengamati
trend 5 tahunan harga CPO
internasional (periode Januari 2008 –
Juni 2012), kita dapat mengetahui adanya peningkatan harga CPO sejak 5
tahun terakhir. Meskipun tampak pada grafik, harga CPO bergerak fluktuatif
(naik turun). Namun secara umum, gambaran grafik diatas, menunjukkan trend peningkatan (positif bila ditarik garis linier).
Harga maksimum
dicapai pada level 1.248,55 Dolar Amerika
per ton CPO. Pencapaian harga maksimum dicapai pada penjualan bulan februari
tahun 2011. Setelah bulan februari 2011, meskipun harga CPO bergerak
fluktuatif, namun masih bisa bertahan di angka 1.000 dolar hingga masuk bulan agustus 2011. Sedangkan dibulan
September 2011 sampai desember 2011, harga CPO hanya mampu menembus angka 900 dolar per ton. Selanjutnya, diawal
tahun 2012, harga CPO menembus angka 1000
dolar kembali, dan tetap bertahan hingga bulan mei 2012. Pada bulan juni
2012, harga CPO ditutup pada harga 927,63
dolar amerika per ton-nya.
Harga minimum
dicapai pada level 433,1 Dolar Amerika
per ton CPO. Harga minimum tersebut dicapai
pada penjualan bulan November tahun 2008. Pada dasarnya harga CPO ditahun 2008,
sempat menembus harga 1.000 dolar, yaitu
pada bulan februari 2008 hingga bulan juli 2008. Namun setelah bulan juli 2008,
harga CPO bergerak turun sangat tajam hingga menembus angka 400-700 dolar per ton. Kondisi tersebut
tetap bertahan hingga 2 tahun lamanya
yaitu sampai pada bulan juli 2010. Setelah bulan juli 2010, harga mulai merangkak
naik dari kisaran 800 hingga
menembus angka 1.000 dolar saat
memasuki awal tahun 2011.
Namun,
harga CPO dunia sejak 5 tahun terakhir, rata-rata
berada pada level 881,69 Dolar Amerika per ton. Atau jika di konversi kedalam nilai Rupiah,
rata-rata harga CPO mencapai Rp
8.816.900 per ton (kita menggunakan
kurs Rp 10.000 per dolar, mengabaikan resiko depresiasi mata uang).
Bagaimana nasib petani di Bungku Utara dan Mamosalato?
Bagaimana nasib petani di Bungku Utara dan Mamosalato?
Setelah
mengetahui harga CPO di perdagangan internasional, tentu saja kita
bertanya-tanya, bagaimana harga yang seharusnya berlaku di pasar dalam negeri,
terutama pada harga TBS (Tandan Buah Segar) yang berlaku pada petani sawit di
Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara?
Berikut
kami tampilkan analisisnya:
Sawit
yang sudah berproduksi optimal, rentang umur tanam minimal 5-10 tahun (kategori
tanaman sedang), dapat menghasilkan TBS dengan berat antara 15-30 kg/tandan. Dari
setiap ton TBS yang diolah dapat menghasilkan 2,1 ton CPO (dengan rendemen minyak 21%). Optimalnya setiap hektar area (ha)
kelapa sawit, dapat menghasilkan hingga 2000/3000 kg TBS atau 2/3 ton produksi
TBS.
Tentu
produksi TBS kelapa sawit sangat bergantung pada beberapa faktor, diantaranya jenis
varietas kelapa sawit yang ditanam (mempengaruhi bobot tandan, kuantitas
tandan, rendemen minyak, ukuran pelepah, kekerasan pelepah), ketahanan terhadap
hama, toleransi terhadap jenis tanah, toleransi terhadap drainase yang buruk,
toleransi terhadap pH tanah (keasaman tanah) yang tidak sesuai, cara pemupukan
dan bagaimana cara perawatannya.
Dalam kondisi yang
buruk sekalipun, kelapa sawit dapat memproduksi rata-rata 3 ton/ha/bulan TBS, meskipun
tanpa diberi pupuk sedikitpun.
Bagimana cara memperkirakan
produksi TBS di lahan sawit kita?
Jika
kondisi tanaman, terhitung terurus dengan baik, umur tanam sudah mencapai 6
tahun. Misalnya dalam 1 hektar, terdapat tanaman sawit sebanyak 140 batang pokok sawit. Dengan menggunakan rotasi panen seminggu sekali (pilihan panen dapat dilakukan tiap 7 hari,
10 hari dan 14 hari), sehingga diperoleh setengah dari total panen dalam 1
hektar yaitu 70 batang pokok sawit. Rata-rata jumlah panen TBS (tandan buah
segar) per pokok tanaman sawit, sebanyak 1 tandan. Diperkirakan berat TBS
sekitar 10 kg. Sehingga tiap hektarnya diperoleh hasil: 70 btg x 1 TBS x 10 kg
= 700 kg.
Panen
TBS selama seminggu bisa mencapai 700 kg. Sehingga sebulan bisa mencapai 2800
kg TBS yang bisa dipanen.
Dari
setiap ton TBS yang diolah dapat menghasilkan 2,1 ton CPO. Sehingga dari 2800
kg atau setara 2,8 ton TBS yang dipanen, dapat menghasilkan 5,88 ton CPO.
Dengan
harga CPO mencapai Rp 8.816.900 per ton (kita menggunakan harga rata-rata CPO dunia), maka pendapatan yang dapat diperoleh
per hektar-nya adalah sebesar Rp 51.843.372. Bagaimana jika luas
lahan sawit 2 hektar, maka pendapatan bisa mencapai Rp 103.686.744. Bagaimana jika luas lahan sawit sebesar 5 hektar,
maka perolehan pendapatan bisa mencapai
Rp 259.216.860.
Rasio
perhitungan diatas, diperoleh dari menghitung harga TBS hingga ke pengolahan
CPO nya. Hasil tersebut, sebenarnya menggambarkan
potensi hasil yang bisa diperoleh Pengusaha Kelapa Sawit (PKS) di setiap
produksi TBS per hektar-nya. Karena hanya Perusahaan yang mampu mengolah TBS hingga
menjadi CPO.
Sekalipun
demikian, harga tersebut mejadi acuan dasar untuk bisa mengkalkulasi, berapa
sebenarnya selisih keuntungan yang diperoleh Perusahaan dan para petani kelapa
sawit. Sehingga diperoleh hitung-hitungan pendapatan yang wajar bagi para
petani sawit.
Mari
kita bandingkan:
Jika
pihak Perusahaan Kelapa Sawit (PKS), membeli harga TBS dari petani sebesar Rp 1.700
per kilogram-nya. Maka dari potensi 2800 kg (2,8 ton) produksi TBS per hektar per
bulan, dapat dihitung perolehan pendapatan petani sebesar Rp 4.760.000 per
bulannya.
Pendapatan
sebesar Rp 4.760.000 adalah terhitung pendapatan kotor petani “gross income”. Biasanya, pendapatan
tersebut akan dikurangkan dengan biaya-biaya tertentu seperti biaya pemupukan, biaya
perawatan, biaya karyawan (jika menggunakan pekerja), biaya transportasi, dan
lain-lain. Jika seluruh biaya tersebut mencapai 50% dari pendapatan (skenario terburuk, dimana ongkos perawatan
mahal), maka diperoleh keuntungan bersih oleh petani sebesar Rp 2.380.000
per hektar per bulannya.
Bagaimana perolehan
keuntungan petani sawit di Mamosalato dan Bungku Utara??
Bukan
rahasia lagi, wilayah Mamosalato dan
Bungku Utara merupakan wilayah ekspansi
besar-besaran Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) milik PT. Kurnia Luwuk Sejati
(KLS). Pemilik perusahaan tersebut adalah Murad Husain. Dengan janji-janji manis akan perolehan keuntungan
yang besar dari bisnis kelapa sawit,
warga petani di Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara, memberikan lahan mereka
untuk digarap oleh Kurnia (sebutan dari
PT. Kurnia Luwuk Sejati).
Tidak
tanggung-tanggung, warga petani di
wilayah ini rela mengkonversi lahan
pertanian milik mereka. Sebelumnya lahan-lahan tersebut diperuntukan untuk
tanaman pertanian (seperti tanaman padi
dan sayur-sayuran) dan tanaman perkebunan. Luas lahan yang diserahkan oleh
petani untuk ditanami tanaman sawit bervariasi, mulai dari lahan 1 hektar
hingga ada yang menyerahkan lahan lebih dari 5 hektar. Lebih lanjut lagi, bukan
hanya lahan petani yang dikonversi ke lahan sawit, Pemerintah Desa juga tergiur
dengan janji-janji manis perusahaan sawit. Tidak pelak lagi, ratusan hektar
tanah desa, di berikan ke Perusahaan Sawit untuk di tanami sawit. Praktis,
hutan yang dulunya rimbun, kaya akan vegetasi hutan, tergantikan oleh hamparan
tanaman sawit.
Tentu,
baik warga petani maupun Pemerintah Desa, punya alasan untuk menyerahkan tanah
milik mereka ke Perusahaan Sawit, yaitu keuntungan yang sangat besar dari
menanam sawit. Hal tersebut dipandang
sebagai keberhasilan Perusahaan Sawit dalam memasarkan kepentingan perusahaan
mereka (strategi pemasaran). Namun fakta apa yang ditemukan di masyarakat
petani sawit saat ini? Apakah jutaan keuntungan dari menanam sawit di lahan
mereka benar-benar diterima oleh para petani? Atau petani sawit malah merasa di
bohongi oleh Perusahaan?
Terlepas
dari pro kontra untung rugi bagi para petani sawit, mari kita analisis
keuntungan yang seharusnya diterima oleh para petani sawit, sebagai berikut:
- Harga CPO, 5 tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan. Rata- rata harga CPO mencapai Rp 8.816.900 per ton.
- Dengan menggunakan parameter harga CPO, nilai pendapatan yang diperoleh dari lahan sawit seluas 1 hektar, dengan produksi TBS mencapai 2800 kg, adalah Rp 51.843.372 (pendapatan ini dihitung berdasarkan jumlah TBS yang dapat dikonversi menjadi CPO). Pendapatan ini cenderung menggambarkan pendapatan Perusahaan Kelapa Sawit, dari hasil memproduksi CPO.
- Dengan rasio harga TBS, Rp 1.700 per kilogram-nya, diperoleh keuntungan bagi petani dari penjualan TBS tersebut, dengan produksi 2800 kg per hektar perbulan-nya, sebesar Rp 4.760.000 (pendapatan kotor). Jika pendapatan tersebut di kurangkan lagi dengan biaya-biaya operasional perawatan sawit sebesar 50% (skenario terjelek, biaya perawatan mencapai 50% dari pendapatan kotor), maka pendapatan tersisa sebesar Rp 2.380.000 per hektar per bulan-nya (pendapatan bersih) diterima oleh petani sawit.
- Jika pendapatan kotor petani, dikurangkan dengan pendapatan Perusahaan Sawit dari hasil memproduksi CPO, yang berasal dari 2800 kg TBS, maka diperoleh selisih keuntungan yang diterima Perusahaan sebesar Rp 47.083.372.
Dari analisis diatas, diperoleh kesimpulan, sebagai berikut:
- Keuntungan bersih Perusahaan Kelapa Sawit, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) disetiap panen lahan sawit, untuk satu hektar lahan, perbulan-nya mencapai Rp 47.083.372.
-
Sedangkan petani, memiliki keuntungan bersih hanya sebesar Rp 2.380.000 per hektare per bulan-nya (setelah dikurangkan dari pendapatan kotor). Keuntungan ini, untung-untung diterima sepenuhnya oleh petani sawit. Apakah benar demikian? Atau pendapatan yang diterima petani sawit, lebih kecil dari perhitungan ini? Atau jangan-jangan pihak Perusahaan bermain mata, untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga pendapatan petani semakin sedikit.
-
Permainan harga sangat mungkin dilakukan, pihak Perusahaan dapat mengutak-atik biaya perawatan sawit, dengan dalih, Perusahaan telah banyak berinvestasi sejak penanaman bibit, hingga ongkos perawatan sawit yang sedang berbuah, termasuk biaya memperkerjakan karyawan (jika perkebunan tidak dikelola sendiri). Selain itu, modus lainnya yang merugikan para petani, yaitu dengan mengurangi bobot timbangan TBS yang masuk ke Perusahaan. Sehingga disini peran penting petani sangat diandalkan, untuk mengecek langsung timbangan TBS di perkebunan miliknya.
-
Dengan keuntungan yang cukup besar dari penjualan CPO oleh Perusahaan Sawit, seharusnya harga TBS ditingkat petani dapat ditingkatkan melebihi harga Rp 1.700 per kilogram-nya. Hal tersebut dilakukan untuk mensejahterakan kehidupan para petani sawit.
-
Dengan menggunakan perhitungan harga CPO yang terendah sekalipun, yaitu sebesar 433,1 dolar amerika per ton atau setara dengan Rp 43.310.000 per ton CPO, perolehan keuntungan Perusahaan masih lebih besar.
Dengan fakta-fakta tersebut diatas, apakah petani sawit di Mamosalato dan Bungku Utara akan tetap bertahan dengan kondisi yang mereka alami saat ini? tetap menerima dengan tangan terbuka kehadiran Perusahaan Sawit di daerah ini? Dengan mengijinkan ratusan hektar lahan warga digunakan untuk memperluas ekspansi usaha sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS).
Kehadiran Perusahaan Sawit, siapakah yang diuntungkan? Petani-kah? atau Perusahaan-kah?
Semoga petani diwilayah ini, tidak salah mengambil keputusan..
Post a Comment