BETELEME Lebih Pantas Menjadi Ibu Kota Morowali Utara
Kabupaten
Morowali Utara adalah daerah otonom baru yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2013, yang di dasarkan pada hak asal usul
daerah yang bersifat Swapraja “zelfbesturende
landschappen”. Kabupaten Morowali Utara didirikan berdasarkan pertimbangan
atas asal usul wilayah Swapraja Mori (zelfbesturende
landschappen mori).
Sedangkan Tanah Morowali “Morowali
Land” adalah daerah persiapan pemekaran Kabupatan Tanah Morowali sebagai
eks-wilayah Swapraja Bungku “zelfbesturende
landschappen bungku”, yang disebut sebagai Distrik Tokala “Tokala Districten”. Tanah Morowali
adalah identitas yang diambil berdasarkan tempat asal cagar alam Morowali yang
terletak di wilayah Ta’a-Wana. Suku Ta’a-Wana sendiri adalah penduduk pribumi
yang mendiami wilayah Swapraja Bungku yang terletak di bagian paling utara Kabupaten
Morowali.
Tokala Districten yang terletak di teluk Tolo “Golf van Tolo” sebagai bagian dari “zelfbesturende landschappen bungku” berbatasan disebelah barat dengan wilayah Swapraja Mori, disebelah utara berbatasan dengan Swapraja Todjo dan di sebelah timur berbatasan dengan Swapraja Banggai.
Tanah Morowali sebagai daerah yang dipersiapkan untuk membangun daerah otonom baru, di deklarasikan pada hari Senin, tanggal 13 Mei 2013, Tempat Gedung Mayapuria, Baturube, Kecamatan Bungku Utara.
Tokala Districten yang terletak di teluk Tolo “Golf van Tolo” sebagai bagian dari “zelfbesturende landschappen bungku” berbatasan disebelah barat dengan wilayah Swapraja Mori, disebelah utara berbatasan dengan Swapraja Todjo dan di sebelah timur berbatasan dengan Swapraja Banggai.
Tanah Morowali sebagai daerah yang dipersiapkan untuk membangun daerah otonom baru, di deklarasikan pada hari Senin, tanggal 13 Mei 2013, Tempat Gedung Mayapuria, Baturube, Kecamatan Bungku Utara.
Penduduk yang mendiami wilayah zelfbesturende landschappen mori terdiri dari 2 klaster yaitu penduduk pribumi Mori dan
penduduk non-Mori (termasuk penduduk dari suku-suku yang berasal dari daerah
lain). Penduduk non-Mori atau sebutan orang
asing adalah suku-suku yang berasal dari luar Mori yang tinggal menetap di
wilayah Swapraja Mori terutama bermata pencaharian sebagai peramu dan pedagang
“verzamelaars en handelaren”.
Dalam sejarah konstitusi NKRI (sepertihalnya UUD 1945 sebelum
Amandemen, UUD 1950, Konstitusi RIS 1949), pengakuan terhadap semua daerah swapraja digunakan
sebagai landasan terhadap pembentukan daerah otonom. Dasar pertimbangan ini masih
digunakan hingga setelah lahirnya Amandemen UUD 1945.
Sebutan sebagai daerah Swapraja Mori zelfbesturende landschappen mori, oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu dimulai setelah Perang Mori II berakhir, dengan penaklukan wilayah Kerajaan Mori “koninkrijk Mori” oleh Belanda.
Sebutan sebagai daerah Swapraja Mori zelfbesturende landschappen mori, oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu dimulai setelah Perang Mori II berakhir, dengan penaklukan wilayah Kerajaan Mori “koninkrijk Mori” oleh Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda merubah sistem “koninkrijk
Mori” menjadi gouvernement
gebeid dibawah kekuasaan gouvernement van celebes en onderhoorigheden.
Dengan pengambil-alihan sistem pemerintahan oleh Belanda, maka wilayah kerajaan
Mori berubah menjadi daerah swapraja “zelfbesturende landschappen mori”. Wilayah swapraja Mori dibagi
kedalam 4 distrik utama yaitu Distrik
Ngusumbatu, Distrik Sampalowo, Distrik Kangua dan Distrik Soyo (sebelum
perubahan 1942).
Sedangkan penetapan distrik Petasia yang saat itu berpusat di
Kolonodale adalah sebagai hasil restrukturisasi wilayah Swapraja Mori setelah
tahun 1942 oleh Pemerintahan Hindia Belanda (1938-1942). Restrukturisasi ini
dilakukan untuk meng-establish penuh pengaruh Belanda di wilayah pendudukan Mori.
Setelah restrukturisasi wilayah Swapraja Mori, satu-satunya distrik yang masih
bertahan (setelah penaklukan perang Mori II) yaitu Distrik Ngusambatu yang
berpusat di Tinompo “Desa Tinompo saat ini”. Secara administratif, Desa Tinompo
merupakan bagian dari Kecamatan Lembo yang berpusat di Beteleme sebagai Ibu
Kota Kecamatan.
Jauh sebelum penaklukan oleh Belanda, semasa pengaruh
kerajaan Luwu, terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Wawontuka ke daerah
yang dikenal sebagai Petasia (pa’antoule) sebagai “Syarat yang Memaksa” kerajaan Mori.
Secara historis,
peradaban kerajaan Mori sangat erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan
sosial suku Mori di lembah yang dialiri oleh DAS Laa-Tambalako. Di wilayah
inilah terdapat Desa Beteleme, Kecamatan Lembo, dengan jarak tempuh hanya ±4
kilometer dari pusat Distrik Ngusumbatu.
Hal inilah yang memperkuat argumentasi pertama bahwa wilayah Kerajaan Mori
seharusnya dikembalikan pada asal perkembangannya “peradaban di lembah DAS Laa-Tambalako”.
Selain alasan asal-usul kerajaan Mori, dalam menentukan
pertimbangan terkait penetapan ibu kota Kabupaten haruslah di tetapkan dengan prasyarat
kajian teknis “secara ketataruangan”. Untuk menilai secara objektif kajian ini,
mari kita bandingkan luas wilayah Kolonodale dengan luas wilayah
Beteleme+Lembah DAS Laa-Tambalako seperti yang tampak dibawah ini:
Lokasi pertama yang ditunjukan dalam peta polygon berwarna merah pada bagian atas
adalah wilayah Kolonodale, sedangkan lokasi kedua pada bagian bawah adalah
wilayah Beteleme+ lembah DAS Laa-Tambalako.
Luas wilayah daratan Kolonodale saat ini hanya sebesar 187,35
Hektar. Sedangkan luas wilayah daratan Beteleme “mencakup daratan di lembah DAS
Laa-Tambalako” mencapai 28.129,28 Hektar.
Luas wilayah daratan Kolonodale hanya mencapai 0,67% dari luas wilayah
Beteleme+Lembah DAS Laa-Tambalako.
Pada peta diatas, menunjukan lokasi Kolonodale yang dibatasi oleh laut
disebelah Timur “teluk tolo” dan dibatasi oleh pegunungan di sebelah Barat.
Berdasarkan gambar diatas, tampak pula daerah kolonodale dari bagian
utara yang dibatasi juga oleh gunung yang luas.
Berdasarkan gambar diatas, tampak daerah kolonodale dari bagian selatan yang dibatasi oleh gunung yang luas.
Dengan letak geografis Kolonodale yang memiliki tataruang yang serba
terbatas, Kolonodale hanya mampu mengembangkan kota niaga semata. Kolonodale
sangat tidak cocok untuk pengembangan kota administrasi pemerintahan.
Kondisi ini sangat berbeda dengan letak geografis wilayah Beteleme+Lembah
DAS Laa-Tambalako. Dengan potensi geografis yang sangat luas, lembah beteleme
memiliki potensi untuk pengembangan tataruang bagi kawasan perkotaan yang baik.
Hal ini akan berdampak baik bagi pembangunan
pusat Pemerintahan yang efektif.
Permasalahan klasik dalam pengembangan kota yang selalu dihadapkan pada
penataan peruntukan kawasan aktivitas ekonomi dan peruntukan kawasan administrasi
pemerintahan, saat ini sedang menjadi persoalan penting bagi sebagian kota-kota
administrasi di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk di
ibu kota Pemerintahan selalu melahirkan masalah “overcrowded” dan dampak yang multidimensi pada fungsi pemerintahan maupun
fungsi ekonomi.
Mere-desain tata ruang dan fungsi pemerintahan dimasa-masa yang akan
datang akan menyita banyak waktu dan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Sebelum
semuanya menjadi terlambat, Ibu kota Pemerintahan Morowali Utara sangat “visible” untuk segera dipindahkan ke
wilayah Beteleme.
Oleh karena itu, tanpa melihat dari sudut pandang politis semata
“subjektivitas kepentingan”, Ibu kota pemerintahan Morowali Utara sebaiknya
dipindahkan ke lokasi baru yang strategis dan tentunya memperhatikan asal-usul
suatu daerah “landasan historis”.
Dengan demikian tanpa syarat apapun, kedudukan ibu kota
Kabupaten Morowali Utara seharusnya dikembalikan pada pemilik warisan sejarah leluhur
Mori sebenarnya yaitu di daerah Beteleme.
Prasyarat pada asal usul sejarah dan pertimbangan “secara
ketataruangan” seharusnya menjadi dasar pertimbangan penetapan Ibu Kota
Kabupaten, yang tidak harus selalu tereduksi oleh kepentingan politis semata.
Kerajaan Mori adalah identitas sebenarnya dari Kabupaten Morowali Utara.
Post a Comment