Lumpur Lapindo versus Tiaka Berdarah
Oleh:
Andri muhamad sondeng
Kasus
lumpur Lapindo di daerah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, memiliki persamaan dan hubungan
dengan kasus Tiaka, di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berikut
fakta-faktanya:
Kegiatan
eksploitasi gas alam di daerah Lapindo Brantas mengakibatkan timbulnya bencana
geologi berupa terbentuknya lumpur seluas 850
Ha akibat semburan gas alam. Akibatnya ribuan rumah warga Porong, Sidoarjo,
terendam lumpur, 14 ribu Kepala Keluarga
(KK) pun harus mengungsi dan tinggal di shelter
penampungan hingga saat ini. Pemerintah tidak dapat memberi solusi yang jelas
bagi ganti rugi sejumlah tanah dan rumah yang terendam lumpur bercampur gas
tersebut. Pihak perusahaan selalu berlindung pada wacana bahwa kegiatan
eksploitasi gas alam merupakan proyek APBN pusat, hal ini terkait proyek vital
nasional (kata mereka).
Yang
tidak kalah mengejutkan adalah terdapat beberapa nama yang disebut-sebut
bertanggung jawab atas bencana semburan lumpur lapindo tersebut, mereka adalah
kelompok usaha Bakrie Group dan
kelompok usaha Arifin Panigoro. Siapa
mereka? Bakrie Group adalah milik dari keluarga politisi Partai Golkar,
Aburizal Bakrie. Bakrie Group memiliki 50%
partisipasi kepemilikan di wilayah blok gas Lapindo (Brantas) tersebut. Sedangkan
Arifin Panigoro adalah pemilik dari
usaha Medco Energi Internasional, yang secara umum perusahaan tersebut bergerak
di sektor energi, diantaranya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan
gas alam. Medco Energi Internasional
memiliki partisipasi kepemilikan pada wilayah blok gas Lapindo (Brantas) sebesar 32%, sedangkan sisanya dimiliki
oleh perusahaan asal Australia (Santos) sebesar 18%.
Bagaimana
dengan pulau minyak Tiaka, di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah?
Jika
lapindo, menjadi danau lumpur akibat ulah tidak bertanggung-jawab 2 perusahaan
tersebut (Bakrie Group dan Medco Energi
Internasional), maka pada kasus Tiaka, yang terjadi adalah perubahan
topografi lautan menjadi daratan yang cukup luas sebagai akibat reklamasi
wilayah laut yang notabene adalah gugusan terumbu karang “coral reef” yang sangat
sehat dan melimpah dengan beragam jenis tangkapan ikannya. Sebagai akibatnya
ribuan warga nelayan disepanjang pesisir wilayah Tiaka, praktis kehilangan mata
pencaharian. Tidak ada ganti rugi buat mereka, padahal wilayah tersebut
merupakan wilayah ulayat warga nelayan di daerah ini, dan penghidupan mereka
sangat tergantung atas hasil tangkapan ikan diwilayah tersebut. Secara tegas,
Medco Energi Internasional, melalui anak perusahaannya yaitu Medco E&P
Tomori Sulawesi, telah memalsukan kajian AMDAL mereka, dan hal tersebut
merupakan tindak pidana.
Tindakan
melanggar hukum oleh perusahaan Medco Energi Internasional terhadap wilayah
terumbu karang Tiaka merupakan “kasus pidana”
yang kedua kalinya dilakukan oleh mereka, setelah kasus semburan lumpur Lapindo
di daerah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Kiprah
Medco Energi Internasional di dua kasus tersebut menunjukkan karakter korporasi
yang buruk dan etika korporasi yang bobrok.
Tentu
saja kita tidak bisa mengharap banyak ke pemerintah, untuk dapat menyelesaikan
konflik-konflik tersebut. Sebab pemerintah saat ini dipandang tidak dapat
dipercaya untuk bersikap tegas atas pelanggaran dan kejahatan “pidana korporasi dan kejahatan lingkungan”
yang dilakukan oleh pemodal besar seperti Medco Energi Internasional. Pemerintah
saat ini dipandang tidak bisa memberi teladan yang baik dalam menuntaskan problemnya
sendiri yaitu reformasi birokrasi. Perilaku korupsi, nepotisme dan kolusi,
masih menjadi praktek yang terus dipelihara oleh pemimpin eksekutif maupun legislatif
di negeri ini. Sehingga rakyat kecil tidak berdaya jika dihadapkan pada
gratifikasi dan suap kaum pemodal untuk mentup perilaku buruk mereka. Akhirnya rasa
tidak percaya “distrust” dan kurang percaya “mistrust” tersebut mendorong
masyarakat dan aktivis mahasiswa untuk bertindak sendiri dalam rangka men-solving
konflik rakyat tersebut.
Dengan
kata lain, masyarakat dan aktivis mahasiswa dapat melakukan upaya upaya konkret
untuk memecahkan konflik rakyat tersebut. Salah satunya melalui gerakan anti
investasi yang merugikan masyarakat dan membahayakan tidak hanya lingkungan “environment”
akan tetapi kehidupan komunitas yang ada di sekitarnya.
Sebagai
referensi, seyogyanya masyarakat dan aktivis mahasiswa menggunakan cara-cara
baru yang tidak hanya menyentuh wilayah negosiasi semata “non-litigasi” dalam
penyelesaian konflik rakyat, tetapi jauh lebih baik jika mereka masuk pada
wilayah peradilan “litigasi”. Tentu saja, upaya hukum jauh lebih baik dibanding
upaya negosiasi. Jaminan kepastian hukum akan diperoleh rakyat yang berkonflik
dengan perusahaan. Tentu saja dalam praktek peradilan, rakyat dan aktivis
mahasiswa harus konsisten mengawasi proses hukum yang sedang berlangsung. Untuk
tetap waspada pada upaya gratifikasi dan suap terhadap peradilan yang dapat
merugikan hak-hak masyarakat yang berkonflik.
Salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
masyarakat dan aktivis mahasiswa yakni melalui class action dan legal
standing.
Apapun metode yang dipilih, litigasi approach atau non-litigasi
approach, yang terpenting adalah hadirnya semangat perlawanan di hati
masyarakat dan aktivis mahasiswa, untuk mendorong penyelesaian konflik rakyat
tersebut.
Salam
perlawanan rakyat…
Pengadilan
Negeri Palu, peradilan kasus Tiaka Berdarah…
Post a Comment