Header Ads

test

DESKRIPSI KONFLIK TIAKA, DAN PERMASALAHAN HUKUMNYA (DESCRIPTION TIAKA CONFLICT AND LEGAL ISSUES)
















A.   Latar Belakang Konflik Tiaka (Background Tiaka Conflict)

Tiaka adalah wilayah kegiatan Drilling “Pengeboran” Minyak oleh Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi (JOB PMTS). Bentuk kontrak pengusahaan sumur minyak diwilayah Tiaka “Tiaka Field” adalah dalam bentuk kontrak Production Sharing Contract “PSC”. Kontrak PSC tersebut dilakukan antara Pertamina dengan pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama “KKKS”. Pihak KKKS tersebut adalah PT. Medco E&P Tomori Sulawesi (MTS) yang merupakan anak perusahaan dari PT. Medco Energi Internasional (MEI). Pemilik MEI adalah Arifin Panigoro. Blok Minyak Tiaka juga disebut Blok Senoro Toili. Luas wilayah konsesi MTS di Blok Senoro Toili adalah 451 Km2 yang merupakan lokasi offshore “Lapangan minyak lepas pantai”. 

Tiaka is area oil drilling activities “pengeboran” by the Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi (JOB PMTs). The form concession contract in the region of oil wells Tiaka "Tiaka Field" is in the form of contract Production Sharing Contract "PSC". PSC contract was made between Pertamina and the contractor of cooperation contract "KKKS". KKKS party are PT. Medco E & P Tomori Sulawesi (MTS) which is a subsidiary company of PT. Medco Energy International (MEI). Arifin Panigoro is owner of MEI. Oil block Tiaka are also called as Block Senoro Toili. The total area of ​​concession MTS in Block Senoro Toili is 451 Km2 which is an offshore location "lapangan minyak lepas pantai”. 

Berikut wilayah dangkalan Tiaka sebelum dilakukan reklamasi terumbu karang, warga nelayan menyebut dangkalan ini dengan sebutan “Sapa Mataha” artinya dangkalan yang panjang: 

The following area Tiaka shallow, prior to the reclamation of coral reefs, fishing people call it with the title "Sapa Mataha" means a long shoal:

Diakhir tahun 2010, Pihak KKKS MTS menjual 20% saham mereka ke Mitsubishi Corporation dengan nilai divestasi sebesar U$260 Juta atau setara dengan 2,3 Triliun Rupiah (kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika sebesar 8.650 per 1 U$/Dolar Amerika).  

At the end of 2010, party KKKS MTS sell 20% their shares to Mitsubishi Corporation with value divestment by 260 million USD, equivalent to 2,3 trillion Rupiah (exchange rate of rupiah to the U.S. dollar at 8.650 per 1 USD)

Salah satu alasan penjualan saham MTS ke Mitsubishi Corporation adalah sejumlah pinjaman “loan” PT. Medco Energi Internasional “MEI” sebesar U$120 juta (setara dengan 1,04 Triliun Rupiah/ kurs Rupiah 8.650 per 1 U$/Dolar Amerika). Pinjaman tersebut ditujukan untuk mengoperasikan Blok Gas Donggi Senoro oleh MTS. Kegiatan MTS di wilayah Donggi Senoro meliputi kegiatan hulu dan hilir. Kegiatan hulu meliputi kegiatan eksploration dan production natural gas “gas alam”. Sedangkan kegiatan hilir berupa pembangunan fasilitas kilang Liquified Natural Gas “LNG” dan jalur pipa untuk kepentingan pengilangan gas LNG. Pinjaman dana sebesar 1,04 Triliun Rupiah tersebut diperoleh dari Mitshubishi Corporation. Operasi Blok Gas Donggi Senoro disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tanggal 17 juni tahun 2010.

One reason for sale of MTS shares to Mitsubishi Corporation is a loan Medco Energy International company "MEI" by 120 million USD (equivalent to 1.04 trillion rupiah / with Rupiah exchange rate of 8.650 per 1 USD). The loan is intended to operate the Gas Block Donggi Senoro by MTS. MTS activity in the area Donggi Senoro include upstream and downstream activities. Upstream activities include exploration and production of natural gas "gas alam". Whereas downstream activities such as construction refinery facility of Liquefied Natural Gas "LNG" and pipelines for LNG refining interest. Loan funds amounting to 1.04 trillion Rupiah was acquired from Mitsubishi Corporation. Donggi Senoro Block Gas operation approved by the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) on 17 June 2010.

Sejak Kontrak PSC minyak MTS di wilayah Tiaka yaitu pada tahun 1997 hingga tahun 2011, tidak pernah ada komitmen CSR terhadap wilayah AMDAL Tiaka. Kegiatan reklamasi terumbu karang diwilayah Tiaka berlangsung sejak tahun 2001. Kegiatan lifting “Pengapalan Minyak” sudah berlangsung sejak tahun 2003 dengan volume lifting minyak sebesar 336.000 Barel Minyak pertahun (sumber: Kepmen ESDM No.517K/81/MEM/2003). Kegiatan peresmian lokasi drilling “pengeboran” minyak Tiaka dilakukan di tahun 2005, dihadiri oleh Dirjen Migas, BPMIGAS, Gubernur Sulawesi Tengah dan Bupati Morowali. Ditahun 2005 tersebut dilakukan Demonstrasi untuk pertama kali menuntut pemberdayaan dan partisipasi kerja bagi penduduk lokal. Demonstrasi tersebut dilakukan sebagai respon terhadap hilangnya lokasi pemancingan warga nelayan. Di tahun 2005 tersebut warga dijanjikan program pemberdayaan sebagai pengganti diambil alihnya lokasi pemancingan warga nelayan.  Namun hingga tahun 2007, program tersebut tidak pernah dilaksanakan. Sehingga di tahun 2007 itu pula, warga nelayan melakukan demonstrasi kembali ke wilayah Tiaka, hingga beberapa kali dilakukan aksi. Diakhir aksi di tahun  2007 tersebut dihasilkan kesepakatan tertulis antara  pihak MTS bersama Pemerintah Daerah dan DPRD Morowali, serta masyarakat Desa Kolo Bawah. Namun lagi-lagi kesepakatan tersebut dilanggar oleh pihak MTS. Tidak ada komitmen yang jelas terkait pelaksanaan butir-butir kesepakatan tersebut. Pada akhirnya ditahun 2009, warga nelayan mendorong penyelesaian masalah Tiaka ke Bupati Morowali, Drs. Anwar Hafid, namun lagi-lagi tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat ditahun 2007. Sehingga ditahun  2010, dilakukan demonstrasi besar-besaran oleh warga nelayan bersama warga masyarakat di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara. Namun hasilnya tidak juga bisa menjawab degradasi kehidupan ekonomi warga nelayan yang semakin parah dari tahun ke tahun. Persoalan mendasar yang dialami oleh warga nelayan adalah hilangnya mata pencaharian mereka untuk melakukan penangkapan ikan, bermil-mil jaraknya dari wilayah drilling minyak Tiaka tidak ditemukan ikan yang dapat dipancing. Jarak memancing yang sudah semakin  jauh, menjadikan kegiatan pemancingan sangat high cost “berbiaya tinggi”. Sedangkan warga tidak punya cukup uang untuk membeli solar, perlengkapan alat tangkap yang masih sangat tradisional, sedikit dari warga yang mempunyai mesin perahu. Rata-rata warga nelayan memiliki perahu yang cukup kecil dan hal tersebut tidak pernah mendapat solusi oleh pihak MTS.

Since oil PSC Contract of MTS, in the region Tiaka, that is in 1997 until 2011, there is never a commitment CSR to the EIA Tiaka. Reclamation of coral reefs in the region Tiaka ongoing since 2001. Lifting activitiy "Shipment of Oil" has been going on since 2003 with the volume of oil lifting of 336,000 Barrels of Oil per year (source: Energy and Mineral Resources Ministerial Decree No.517K/81/MEM/2003). Inauguration of location drilling oil activity "pengeboran" of Tiaka done in 2005, attended by Director General of Oil and Gas, BPMIGAS, the Governor of Central Sulawesi and the Regent Morowali. In 2005, conducted the first demonstration to demand the empowerment and participation employment for local residents. The demonstration done response to loss of resident fishermen fishing location. In 2005 the residents promised empowerment program as a substitute taken it over resident fishermen fishing location. But until year 2007, the program was never implemented. So in 2007 the same way, residents fishermen return demonstrations to Tiaka region, up to several times done the action. At the end of actions in 2007 that resulted a written agreement between the MTS with the Regional Government and Parliament Morowali, and the village of Kolo Bawah. But again the agreement is violated by the MTS. None clear commitment related to implementation of agreement items. Eventually in 2009, residents fishermen to encourage settlement of problem Tiaka for Morowali Regent, Drs. Anwar Hafid, but again do not run according to the agreement made in 2007. So in 2010, done massive demonstrations by residents fishermen with citizens in two Subdistrict are Mamosalato and North Bungku. However results can not answer degradation of economic life of residents fishing is getting worse from year to year. Fundamental problem experienced by residents is loss of fishermen livelihoods for fishing, miles away from oil drilling Tiaka found no fish that can be fished. Distance of fishing further away, making fishing activity is very high cost. While residents do not have enough money to buy diesel fuel, fishing equipment are still very traditional, less of residents who have a boat engine. The average resident fishermen has a boat small enough and it never got solution by MTS.

Salah satu alasan yang sering disampaikan oleh MTS ke warga nelayan, mengapa mereka tidak bisa melaksanakan komitmen kesepakatan bersama masyarakat adalah karena cadangan minyak Tiaka cukup kecil jika dibandingkan wilayah Tarakan. Berikut kami tampilkan grafik cadangan minyak Tiaka kategori 1P “Proven” artinya cadangan minyak yang terbukti, dengan memiliki data seismic, data Geologi & Geofisika (G&G), dan data Well Development “pengembangan sumur”:  

One reason often presented by MTS to resident fishermen, why can not they implement commitment of community agreement is because oil reserves Tiaka quite small compared to area Tarakan. The following we show a graph of oil reserves Tiaka 1P category "Proven" means the proven oil reserves, with a seismic data, with Geology & Geophysics data (G & G), and Well Development data:





















Yang mengkhawatirkan adalah kontrak MTS berlangsung hingga tahun 2027. Kerusakan terumbu karang akibat penimbunan “reklamasi” dan dampak pencemaran limbah minyak ke wilayah tersebut memperparah kondisi lingkungan terutama pasca kontrak PSC minyak diwilayah Tiaka yang berlangsung hingga seratusan tahun akan datang. Bisa diproyeksikan kehidupan warga nelayan sudah tidak ada lagi sebelum mereka sadar bahwa kehadiran kegiatan drilling “pengeboran” minyak diwilayah ini menghancurkan kehidupan mereka.

The worrying is MTS contract lasts until 2027. Damage to coral reefs caused hoarding "reclaiming" and impact pollution of waste oil into the area, worsen environmental conditions, especially post oil PSC contracts in region Tiaka lasting up to a hundred years to come. Can projected life of the fishermen no longer exist before they aware that the presence of oil drilling activity is destroying life them.



















A.   Rumusan masalah konflik Tiaka (Problem formulation of conflict Tiaka)
1.    Pemalsuan AMDAL (falsification of EIA)

Sumber masalah mendasar terkait konflik Tiaka adalah dampak reklamasi terumbu karang diwilayah Tiaka bagi warga nelayan. Pada faktanya wilayah Tiaka adalah terumbu karang yang berfungsi sebagai rumah bagi ikan untuk bertelur. Ini bertentangan dengan pernyataan pihak perusahaan yang menjelaskan bahwa Tiaka adalah wilayah karang mati, sehingga pihak perusahaan diperbolehkan mereklamasi terumbu karang diwilayah ini. Bukti-bukti yang menunjukkan terumbu karang Tiaka merupakan terumbu karang yang sehat dan memiliki hasil laut yang melimpah, dapat dilihat dari beraneka ragamnya hasil tangkapan warga nelayan seperti teripang, udang lobster, gurita, berbagai jenis ikan, dan jenis Kerang purba yang dilindungi. Keanekaragaman hasil laut masih terlihat sangat jelas disekitar wilayah Tiaka yang belum sempat direklamasi. Penjelasan tentang melimpahnya hasil tangkapan perikanan diwilayah ini, juga bisa diperoleh dari keterangan warga nelayan yang dulunya aktif melakukan kegiatan pencarian hasil laut di wilayah Tiaka.

The source fundamental issues related to conflict Tiaka, is impact of coral reefs reclamation in region Tiaka for residents fishermen. In fact Tiaka region is coral reefs that serve as home for the fish to spawn. This contradicts to statement the company explained that Tiaka is dead coral areas, so that the company may reclaim coral reefs this region. Evidence show Tiaka coral reefs are healthy coral reefs and have an abundance of seafood, can be seen from a wide-variety catches of residents fishermen like cucumbers, shrimp, lobster, octopus, various kinds of fish and ancient Shellfish of protected species. Diversity of seafood still very clearly visible around the area which have not been reclaimed Tiaka. An explanation of the abundance of fisheries catches within this area, can also be acquired from the testimony of residents fishermen who were once active activities for searches seafood in area Tiaka.






















Berikut ini gambar terumbu karang yang diambil di sekitar wilayah reklamasi Tiaka, tampak kondisi terumbu karang ketika air laut surut masih terlihat baik (Foto tahun 2004):

Following a picture coral reef taken around reclamation area Tiaka, it appears the condition of coral reef when tide is low still look good (Pictures in 2004):


























Saat ini penetapan wilayah AMDAL Tiaka oleh MTS juga menuai penolakan di kalangan masyarakat terkena dampak. Penolakan tersebut dilakukan oleh masyarakat diwilayah Kecamatan Mamosalato dan Kecamatan Bungku Utara. Seharusnya dasar penetapan wilayah AMDAL Tiaka mencakup seluruh wilayah pesisir pantai yang sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, dan kehidupan mereka terkena dampak secara langsung dari beroperasinya MTS di wilayah Tiaka. 

Current zoning EIA Tiaka by MTS also reap denial among affected communities. The refusal by subdistrict mamosalato and north bungku. Should be basis for setting EIA of Tiaka, covering all coastal region, most people work as fishermen, and their lives are directly affected from operation of MTS in Tiaka.





















2.    Wanprestasi Perusahaan (company violated the agreement)

Kesepakatan tertulis ditahun 2007, tidak pernah dilaksanakan oleh pihak MTS. Berikut kami tampilkan dokumen kesepakatan tertulis tersebut sebagai berikut:

A written agreement in 2007, was never implemented by MTS. Following we show document in a written agreement:






















1.    Korupsi dana CSR (Corruption CSR funds)

Dalam pedoman penyelenggaraan CSR diwilayah kegiatan sektor hulu migas “upstream sector”, biaya CSR dihitung kedalam biaya “cost recovery”. Artinya diawal penyelenggaraan CSR, pihak MTS akan mengeluarkan dana untuk membiayai program-program CSR. Setelah lifting minyak dilakukan “pengapalan minyak”, dana itu akan dibayarkan kembali oleh Negara ke MTS, sebagai biaya cost recovery. Ini konsep dasar yang harus dipahami oleh setiap orang untuk memahami mekanisme pembiayaan CSR di lingkungan pertambangan migas (berbeda dengan pertambangan mineral dan batu bara). Karena tergolong kedalam biaya “cost recovery”, maka biaya CSR sejatinya menggunakan uang Negara. 

In guidelines for CSR implementation to region upstream oil and gas activities "upstream sector", CSR cost are calculated into cost of cost recovery. It means beginning implementation of CSR, the MTS will spend to pay for CSR programs. After lifting the oil done "oil shipment", the fund would be repaid by State to MTS, as a recovery cost. This basic concept is must be understood by everyone to understand mechanism of financing CSR in environmental oil and gas mining. Because classified into cost recovery, so actually CSR cost using money of state.

Perencanaan anggaran program CSR masuk kedalam item work program & budgeting (WP&B), tepatnya pada sub anggaran Health Safety Environment & Community Development (HSE&CD) dan anggaran tersebut, dianggarkan tiap tahunnya.

CSR program budget planning into the itemwork program and budgeting” (WP&B), exactly on sub budgetHealth Safety Environment & Community Development” (HSE & CD) and the budget, is budgeted annually.

Pada kenyataannya realisasi anggaran program CSR tidak jelas peruntukannya. Tidak jelas berapa jumlah anggarannya, bagaimana pelaksanaanya, masyarakat mana saja yang menjadi sasaran program, apa bentuk programnya, bagaimana parameternya, dan bagaimana hasil evaluasinya.

In fact CSR budget realization is not clear allocation. It is not clear how much the budget, how the implementation, Which people were targeted program, what form the program, how the parameter, and how the evaluation result.

Masyarakat di wilayah AMDAL tidak bisa mengakses informasi terkait besaran anggaran yang disediakan dan  peruntukannya. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Perusahaan (MTS), terhitung gagal percuma, karena dilakukan setengah hati. Tidak ada sustainabilitas program, terkesan pihak MTS hanya sekedar menggugurkan kewajiban.

Communities in the EIA can not access the information related amount of budget provided and allocation. Some of activities performed by the Company (MTS), countless to fail, because it is done half-heartedly. There is no sustainability program, Impressed the MTS just abort the obligation.

Karena anggaran CSR menggunakan uang Negara (dibayarkan melalui cost recovery), dan dianggarkan setiap tahunnya (single years), namun hasil pemanfaatan anggaran tersebut tidak jelas di masyarakat, maka dugaan kuat adanya korupsi terhadap penggunaan anggaran tersebut, tidak dapat terbantahkan. Tentu saja Negara dirugikan, sebab uang yang dipakai adalah terhitung uang Negara. Pada kenyataannya masyarakat tidak menikmati anggaran tersebut.  

Because CSR budget using State money (paid through cost recovery), and budgeted annually (single years), but utilization of the budget is not clear in community, the strongly suspected of corruption on the use of budget, can not undeniable.  Of course the State disadvantaged, because the money used is count money the State. In fact community does not advantage the budget.

Untuk dapat memahami pelaksanaan kegiatan perusahaan di komunitas, yang nota bene menggunakan uang Negara, berikut kami tampilkan perjalanan kegiatan Perusahaan (MTS) dari waktu ke waktu:

To understand the implementation of company's activities in community, that in fact using state money, following show the activities of the Company (MTS) from time to time:













Grafik diatas memberikan informasi penting terkait pelaksanaan kegiatan oleh Perusahaan “yang katanya CSR” yang mencakup wilayah Mamosalato dan Bungku Utara. Di wilayah Mamosalato, tercatat aktivitas Perusahaan baru dimulai pada tahun 2008 (setelah demonstrasi bulan september-november tahun 2007). Kegiatan tersebut sempat berhenti di tahun 2009, kemudian dimulai lagi pada tahun 2010 (setelah pertemuan dengan Pemda Morowali dan adanya demonstrasi di tahun itu). Selanjutnya kegiatan Perusahaan berjalan lagi di akhir tahun 2011 (pasca demonstrasi berdarah 22 Agustus 2011, 2 demonstran tewas).

The graph above gives important information related to implementation activities by the Company "which he said CSR", which include area Mamosalato and North Bungku. In Mamosalato, noted the activity of company started in 2008 (after a demonstration September-November in 2007). The activity was stopped in 2009, and started again in 2010 (after meeting with Morowali local government and demonstration in that year). Further activities of the Company is running again at the end of 2011 (after the bloody demonstrations August 22, 2011, two protesters were killed).

Ada yang menarik dari informasi terkait aktivitas Perusahaan (MTS) di wilayah Mamosalato, yaitu pihak MTS hanya akan memberi bantuan ke warga, apabila warga berdemonstrasi ke perusahaan. Setelah itu, kurun beberapa waktu, pihak MTS cenderung mengalami amnesia dan pura-pura lupa dengan komitmen yang telah dibuat bersama warga. Pada akhirnya kemarahan warga muncuat kembali, aktivitas demonstrasi warga berulang lagi, hingga kesekian kalinya pihak MTS mengajak warga untuk kembali bernegosiasi. Dengan demikian, tentu tidak salah jika ada anggapan, pihak Perusahaan (MTS) sengaja memelihara konflik diwilayah ini. Sehingga bukan salah masyarakat, jika pada akhirnya, mereka marah, dan bertindak anarkis. Penyebabnya adalah masyarakat seringkali dibohongi dan diberi harapan palsu oleh pihak Perusahaan. Masyarakat (warga nelayan) tidak punya pilihan lain, selain mencari cara untuk bertahan hidup. Sekalipun harus berkonflik dengan pihak Perusahaan. Sebab, praktis setelah Perusahaan beroperasi, wilayah pemancingan mereka diambil-alih, warga nelayan hidup menjadi miskin. Kemiskinan yang mereka alami, bukan berasal dari faktor kemalasan, melainkan karena mereka dipaksa untuk menjadi miskin.

There is interesting information related to activities of companies (MTS) in region Mamosalato, that the MTS will only give assistance to residents, if citizens marched on the company. After that, over time, the MTS likely have amnesia and pretended to forget with commitment had been made with the residents. Ultimately the anger of residents sticking again, demonstration activities of residents over and over again, until umpteenth time the MTS invite residents to re-negotiate. As such, certainly not wrong if there is an assumption, the Company (MTS) purposely maintains the conflict in region. So that not fault the community, if eventually, they are angry, and anarchy. The causes are often lied to the community, and given false hope by the Company. Community (fishermen) had no choice, other than finding ways to survive. Although should conflict with the Company. Therefore, practically after the Company operates, their fishing territory was taken over, fishermen live to be poor. Poverty that they experience, not from laziness factor, but they are forced to be poor.

Catatan selanjutnya, yang terekam dalam grafik diatas adalah informasi tentang tidak adanya aktivitas pihak MTS sejak tahun 1997 sampai tahun 2007. Praktis terdapat kurun waktu 11 tahun tanpa kegiatan apapun dimasyarakat. 

Next record, recorded in the chart above is the lack of information about activities of MTS since 1997 until 2007. Practically there is a period of 11 years without any activity in community

Adapun rekam jejak kegiatan MTS di Bungku Utara, baru dimulai di akhir tahun 2011 (setelah demonstrasi di tahun 2010 dan demonstrasi berdarah 22 Agustus 2011). Hingga tahun 2012, di Bungku Utara, timbul pro kontra terkait penetapan wilayah AMDAL. Pihak MTS hanya memasukkan Desa Baturube sebagai satu-satunya Desa yang masuk wilayah AMDAL. Padahal terdapat 5 (lima) Desa pesisir lainnya yang pantas masuk ke dalam wilayah AMDAL Perusahaan. 

The track record activities of the Company (MTS) in North Bungku, Started at the end of 2011 (after a demonstration in 2010 and bloody demonstrations August 22, 2011). Until 2012, in North Bungku, arise pros and cons related zoning EIA. The MTS included only the Baturube village as the only village that are in the EIA. Whereas there are five other coastal village appropriate entry into the territory of the Company EIA.

Pendekatan konflik yang diterapkan oleh Perusahaan di wilayah Mamosalato, juga diterapkan di wilayah Bungku Utara. Pihak Perusahaan akan merespon aspirasi masyarakat, jika masyarakat berdemonstrasi. Lagi-lagi pihak Perusahaan menunjukkan wataknya yang senang menggunakan pendekatan konflik terhadap masyarakat. Tentu saja, sikap Perusahaan ini berimplikasi pada konflik berkepanjangan dan dapat memicu konflik yang lebih besar dimasa-masa yang akan datang. Hal ini dapat terjadi jika Perusahaan tidak merubah pola pendekatan mereka dalam merespon aspirasi warga diwilayah AMDAL. Dengan demikian tidak ada jaminan, bahwa konflik berdarah Tiaka, tidak akan terulang kembali, dengan kemungkinan ekskalasi konflik yang lebih besar dimasa-masa yang akan datang. 

Conflict approach adopted by the Company in Mamosalato, also implemented in the North Bungku. The company, will respond to community requests, if the community demonstration. Again, the company showed character who likes to invite conflict in the community. Of course, the attitude of these companies is potential to cause significant conflict in times future, if the Company did not change pattern approach, respond to the aspirations of region in their EIA. As such there is no guarantee, Tiaka bloody conflict, not likely to recur, with the possibility of a greater escalation of the conflict again, in the future

to be continued... human right violations