DESKRIPSI KONFLIK TIAKA, DAN PERMASALAHAN HUKUMNYA (DESCRIPTION TIAKA CONFLICT AND LEGAL ISSUES)
A.
Latar
Belakang Konflik Tiaka (Background Tiaka Conflict)
Tiaka adalah wilayah kegiatan Drilling “Pengeboran” Minyak oleh Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi
(JOB PMTS). Bentuk kontrak pengusahaan sumur minyak diwilayah Tiaka “Tiaka Field” adalah dalam bentuk kontrak
Production Sharing Contract “PSC”.
Kontrak PSC tersebut dilakukan antara Pertamina dengan pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama “KKKS”. Pihak KKKS tersebut adalah PT. Medco E&P Tomori Sulawesi (MTS)
yang merupakan anak perusahaan dari PT. Medco
Energi Internasional (MEI). Pemilik MEI adalah Arifin Panigoro. Blok Minyak
Tiaka juga disebut Blok Senoro
Toili. Luas wilayah konsesi MTS di Blok Senoro Toili adalah 451 Km2
yang merupakan lokasi offshore
“Lapangan minyak lepas pantai”.
Tiaka is area oil drilling
activities “pengeboran” by the Joint Operating Body (JOB)
Pertamina-Medco E
& P Tomori
Sulawesi (JOB PMTs).
The form concession contract in the region of
oil wells Tiaka "Tiaka Field" is in the form of contract
Production Sharing Contract "PSC".
PSC
contract was made between Pertamina and the contractor of cooperation contract
"KKKS". KKKS party are PT. Medco E & P Tomori Sulawesi (MTS) which
is a subsidiary company of PT. Medco Energy
International (MEI). Arifin Panigoro is owner of MEI. Oil block Tiaka are also called as Block
Senoro Toili. The
total area of concession MTS in
Block Senoro Toili
is 451 Km2
which is an offshore location "lapangan minyak lepas
pantai”.
Berikut wilayah dangkalan Tiaka sebelum dilakukan
reklamasi terumbu karang, warga nelayan menyebut dangkalan ini dengan sebutan
“Sapa Mataha” artinya dangkalan yang panjang:
The
following area Tiaka shallow, prior
to the reclamation of coral
reefs, fishing people call it with the title
"Sapa Mataha" means a long shoal:
Diakhir tahun 2010, Pihak KKKS MTS menjual 20% saham
mereka ke Mitsubishi Corporation
dengan nilai divestasi sebesar U$260
Juta atau setara dengan 2,3 Triliun
Rupiah (kurs Rupiah terhadap
Dollar Amerika sebesar 8.650 per 1
U$/Dolar Amerika).
At
the end of 2010, party KKKS
MTS sell 20%
their shares to Mitsubishi
Corporation with value
divestment by 260
million USD, equivalent to 2,3 trillion
Rupiah (exchange rate of rupiah to the U.S. dollar at
8.650 per 1
USD).
Salah satu alasan penjualan saham MTS ke Mitsubishi
Corporation adalah sejumlah pinjaman “loan” PT. Medco Energi Internasional “MEI” sebesar U$120 juta (setara dengan 1,04
Triliun Rupiah/ kurs Rupiah 8.650 per 1 U$/Dolar Amerika). Pinjaman
tersebut ditujukan untuk mengoperasikan Blok
Gas Donggi Senoro oleh MTS. Kegiatan
MTS di wilayah Donggi Senoro meliputi
kegiatan hulu dan hilir. Kegiatan hulu meliputi
kegiatan eksploration dan production natural gas “gas alam”. Sedangkan kegiatan hilir berupa pembangunan
fasilitas kilang Liquified Natural Gas “LNG” dan jalur pipa untuk kepentingan
pengilangan gas LNG. Pinjaman dana sebesar 1,04 Triliun Rupiah tersebut
diperoleh dari Mitshubishi Corporation. Operasi Blok Gas Donggi
Senoro disetujui oleh Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tanggal 17 juni tahun 2010.
One
reason for sale of MTS shares
to Mitsubishi Corporation
is a loan Medco Energy International
company "MEI" by 120
million USD (equivalent to 1.04 trillion rupiah
/ with Rupiah exchange rate of 8.650 per 1 USD).
The loan is intended to operate the Gas
Block Donggi Senoro
by MTS. MTS
activity in the area Donggi Senoro include
upstream and downstream activities. Upstream
activities include exploration and production
of natural gas
"gas alam". Whereas downstream
activities such as construction refinery facility of Liquefied
Natural Gas "LNG"
and pipelines for LNG refining interest.
Loan funds amounting to 1.04 trillion Rupiah
was acquired from Mitsubishi Corporation. Donggi Senoro Block
Gas operation approved
by the Ministry of
Energy and Mineral Resources (ESDM) on 17 June
2010.
Sejak Kontrak PSC minyak MTS di wilayah Tiaka yaitu pada
tahun 1997 hingga tahun 2011, tidak pernah ada komitmen CSR terhadap wilayah
AMDAL Tiaka. Kegiatan reklamasi terumbu karang diwilayah Tiaka
berlangsung sejak tahun 2001. Kegiatan lifting
“Pengapalan Minyak” sudah berlangsung sejak tahun 2003 dengan volume lifting minyak sebesar 336.000 Barel Minyak pertahun (sumber: Kepmen ESDM No.517K/81/MEM/2003).
Kegiatan peresmian lokasi drilling
“pengeboran” minyak Tiaka dilakukan di tahun 2005, dihadiri oleh Dirjen Migas,
BPMIGAS, Gubernur Sulawesi Tengah dan Bupati Morowali. Ditahun 2005 tersebut
dilakukan Demonstrasi untuk pertama kali menuntut pemberdayaan dan partisipasi
kerja bagi penduduk lokal. Demonstrasi tersebut dilakukan sebagai respon
terhadap hilangnya lokasi pemancingan warga nelayan. Di tahun 2005 tersebut
warga dijanjikan program pemberdayaan sebagai pengganti diambil alihnya lokasi
pemancingan warga nelayan. Namun
hingga tahun 2007, program tersebut tidak pernah dilaksanakan. Sehingga di
tahun 2007 itu pula, warga nelayan melakukan demonstrasi kembali ke wilayah
Tiaka, hingga beberapa kali dilakukan aksi. Diakhir aksi di tahun 2007 tersebut dihasilkan kesepakatan tertulis
antara pihak MTS bersama Pemerintah
Daerah dan DPRD Morowali, serta masyarakat Desa Kolo Bawah. Namun lagi-lagi
kesepakatan tersebut dilanggar oleh pihak MTS. Tidak ada komitmen yang jelas
terkait pelaksanaan butir-butir kesepakatan tersebut. Pada akhirnya ditahun
2009, warga nelayan mendorong penyelesaian masalah Tiaka ke Bupati Morowali,
Drs. Anwar Hafid, namun lagi-lagi tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan yang
dibuat ditahun 2007. Sehingga ditahun
2010, dilakukan demonstrasi besar-besaran oleh warga nelayan bersama
warga masyarakat di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara.
Namun hasilnya tidak juga bisa menjawab degradasi kehidupan ekonomi warga
nelayan yang semakin parah dari tahun ke tahun. Persoalan mendasar yang dialami
oleh warga nelayan adalah hilangnya mata pencaharian mereka untuk melakukan
penangkapan ikan, bermil-mil jaraknya dari wilayah drilling minyak Tiaka tidak ditemukan ikan yang dapat dipancing. Jarak
memancing yang sudah semakin jauh,
menjadikan kegiatan pemancingan sangat high
cost “berbiaya tinggi”. Sedangkan warga tidak punya cukup uang untuk
membeli solar, perlengkapan alat tangkap yang masih sangat tradisional, sedikit
dari warga yang mempunyai mesin perahu. Rata-rata warga nelayan memiliki perahu
yang cukup kecil dan hal tersebut tidak pernah mendapat solusi oleh pihak MTS.
Since oil PSC Contract of MTS, in the
region Tiaka, that is in 1997
until 2011, there is never a commitment CSR to the
EIA Tiaka. Reclamation of coral reefs in the region Tiaka ongoing since
2001. Lifting activitiy "Shipment of Oil" has been going on since 2003 with the volume of oil
lifting of 336,000 Barrels
of Oil per year (source:
Energy and Mineral Resources Ministerial
Decree No.517K/81/MEM/2003). Inauguration
of location drilling oil activity "pengeboran" of Tiaka done in 2005,
attended by Director
General of Oil and Gas, BPMIGAS,
the Governor of Central Sulawesi and the Regent
Morowali. In 2005, conducted the first demonstration to demand the
empowerment and participation
employment for local residents. The demonstration done response to loss
of resident fishermen fishing location. In 2005 the residents promised
empowerment program as a substitute taken it
over resident fishermen fishing location. But until year 2007, the program
was never implemented. So in 2007 the same
way, residents fishermen return demonstrations
to Tiaka region, up
to several times done the action. At the
end of actions in 2007 that resulted a written
agreement between the MTS with the Regional
Government and Parliament Morowali, and the
village of Kolo Bawah. But again the agreement is violated by the MTS.
None clear commitment related to implementation of agreement items. Eventually
in 2009, residents fishermen to encourage
settlement of problem Tiaka for Morowali Regent,
Drs. Anwar Hafid,
but again do not run
according to the agreement made in 2007. So in 2010,
done massive demonstrations
by residents fishermen with citizens in two Subdistrict
are Mamosalato and North Bungku. However results
can not answer
degradation of economic life of
residents fishing is getting worse from year
to year. Fundamental problem experienced by residents is loss of fishermen livelihoods
for fishing, miles away from oil drilling
Tiaka found no
fish that can be
fished. Distance of fishing further away, making fishing activity is very high cost. While residents do not have enough money to buy diesel fuel, fishing
equipment are still very traditional, less of residents who have a boat engine. The average resident fishermen has a boat small enough and it never got solution by MTS.
Salah satu alasan yang sering disampaikan oleh MTS ke warga
nelayan, mengapa mereka tidak bisa melaksanakan komitmen kesepakatan bersama
masyarakat adalah karena cadangan minyak Tiaka cukup kecil jika dibandingkan
wilayah Tarakan. Berikut kami tampilkan grafik cadangan minyak
Tiaka kategori 1P “Proven” artinya cadangan minyak yang terbukti, dengan
memiliki data seismic, data Geologi
& Geofisika (G&G), dan data Well
Development “pengembangan sumur”:
One
reason
often presented by MTS to resident fishermen, why can not they implement commitment of community agreement is because oil reserves Tiaka quite small compared to area Tarakan. The
following we
show a
graph of
oil reserves
Tiaka 1P
category "Proven"
means the
proven oil
reserves,
with a seismic data,
with Geology
& Geophysics
data (G &
G), and
Well Development
data:
Yang
mengkhawatirkan adalah kontrak MTS berlangsung hingga tahun 2027. Kerusakan
terumbu karang akibat penimbunan “reklamasi” dan dampak pencemaran limbah
minyak ke wilayah tersebut memperparah kondisi lingkungan terutama pasca kontrak PSC minyak diwilayah Tiaka yang
berlangsung hingga seratusan tahun akan datang. Bisa diproyeksikan kehidupan
warga nelayan sudah tidak ada lagi sebelum mereka sadar bahwa kehadiran
kegiatan drilling “pengeboran” minyak
diwilayah ini menghancurkan kehidupan mereka.
The worrying is MTS contract lasts
until 2027. Damage
to coral reefs caused hoarding "reclaiming" and impact pollution of waste oil into the area, worsen environmental conditions,
especially post oil PSC contracts in region
Tiaka lasting up
to a hundred years to come. Can projected life of the fishermen no longer exist before they aware
that the presence of oil drilling
activity is destroying
life them.
A.
Rumusan
masalah konflik Tiaka (Problem
formulation
of
conflict
Tiaka)
1.
Pemalsuan
AMDAL (falsification
of EIA)
Sumber masalah mendasar terkait konflik Tiaka adalah
dampak reklamasi terumbu karang diwilayah Tiaka bagi warga nelayan. Pada
faktanya wilayah Tiaka adalah terumbu karang yang berfungsi sebagai rumah bagi ikan
untuk bertelur. Ini bertentangan dengan pernyataan pihak
perusahaan yang menjelaskan bahwa Tiaka adalah wilayah karang mati, sehingga
pihak perusahaan diperbolehkan mereklamasi terumbu karang diwilayah ini. Bukti-bukti
yang menunjukkan terumbu karang Tiaka merupakan terumbu karang yang sehat dan
memiliki hasil laut yang melimpah, dapat dilihat dari beraneka ragamnya hasil
tangkapan warga nelayan seperti teripang, udang lobster, gurita, berbagai jenis
ikan, dan jenis Kerang purba yang dilindungi. Keanekaragaman hasil laut masih
terlihat sangat jelas disekitar wilayah Tiaka yang belum sempat direklamasi.
Penjelasan tentang melimpahnya hasil tangkapan perikanan diwilayah ini, juga
bisa diperoleh dari keterangan warga nelayan yang dulunya aktif melakukan
kegiatan pencarian hasil laut di wilayah Tiaka.
The
source fundamental issues related
to conflict Tiaka, is impact of coral
reefs reclamation in region Tiaka
for residents fishermen. In fact Tiaka region
is coral reefs that
serve as home for the fish to
spawn. This contradicts to statement
the company explained
that Tiaka is dead coral areas, so
that the company may reclaim coral reefs this region. Evidence show Tiaka coral reefs are healthy
coral reefs and have an abundance of seafood, can be seen from a wide-variety catches
of residents fishermen like cucumbers, shrimp, lobster, octopus, various kinds
of fish and ancient Shellfish of protected species. Diversity of seafood still very clearly
visible around the area which have not been reclaimed Tiaka. An
explanation of the abundance of fisheries
catches within this area, can
also be acquired from the testimony of
residents fishermen who were once active activities
for searches seafood in area Tiaka.
Berikut ini gambar terumbu karang yang diambil di sekitar wilayah
reklamasi Tiaka, tampak kondisi terumbu karang ketika air laut surut masih
terlihat baik (Foto tahun 2004):
Following a picture coral
reef taken around reclamation area Tiaka, it appears the
condition of coral reef when tide
is low still look good (Pictures
in 2004):
Saat ini penetapan wilayah AMDAL Tiaka oleh MTS juga
menuai penolakan di kalangan masyarakat terkena dampak. Penolakan tersebut
dilakukan oleh masyarakat diwilayah Kecamatan Mamosalato dan Kecamatan Bungku
Utara. Seharusnya
dasar penetapan wilayah AMDAL Tiaka mencakup seluruh wilayah pesisir pantai
yang sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, dan kehidupan mereka
terkena dampak secara langsung dari beroperasinya MTS di wilayah Tiaka.
Current zoning EIA Tiaka by MTS also reap denial among affected
communities. The refusal by subdistrict mamosalato
and north bungku. Should be basis for setting EIA
of Tiaka, covering all coastal region,
most people work as fishermen, and their lives are directly affected from operation of MTS in Tiaka.
2.
Wanprestasi
Perusahaan (company violated the agreement)
Kesepakatan tertulis ditahun 2007, tidak pernah
dilaksanakan oleh pihak MTS. Berikut kami tampilkan dokumen kesepakatan
tertulis tersebut sebagai berikut:
A
written agreement in 2007, was never implemented by MTS. Following we
show document in a written agreement:
1.
Korupsi
dana CSR (Corruption CSR funds)
Dalam pedoman penyelenggaraan CSR diwilayah kegiatan
sektor hulu migas “upstream sector”,
biaya CSR dihitung kedalam biaya “cost recovery”.
Artinya diawal penyelenggaraan CSR, pihak MTS akan mengeluarkan dana untuk
membiayai program-program CSR. Setelah lifting
minyak dilakukan “pengapalan minyak”, dana itu akan dibayarkan kembali oleh
Negara ke MTS, sebagai biaya cost
recovery. Ini konsep dasar yang harus dipahami oleh setiap orang untuk memahami mekanisme pembiayaan CSR di
lingkungan pertambangan migas (berbeda dengan pertambangan mineral dan batu
bara). Karena tergolong kedalam biaya “cost
recovery”, maka biaya CSR sejatinya menggunakan uang Negara.
In
guidelines for CSR
implementation to region upstream
oil and gas activities "upstream sector", CSR cost are calculated
into cost of cost recovery. It means beginning implementation
of CSR, the MTS will spend to pay for CSR programs.
After lifting the
oil done "oil
shipment", the fund would be repaid
by State to MTS, as a recovery cost.
This
basic concept is must be understood by everyone to understand mechanism of financing
CSR in environmental oil and gas mining. Because classified into cost recovery,
so actually CSR cost using money of state.
Perencanaan anggaran program CSR masuk kedalam item work program & budgeting (WP&B),
tepatnya pada sub anggaran Health Safety
Environment & Community Development (HSE&CD) dan anggaran tersebut,
dianggarkan tiap tahunnya.
CSR program budget
planning into the item “work program and
budgeting” (WP&B),
exactly on sub budget
“Health Safety Environment
& Community Development”
(HSE & CD)
and the budget, is budgeted annually.
Pada kenyataannya realisasi anggaran program CSR tidak
jelas peruntukannya. Tidak jelas berapa jumlah anggarannya, bagaimana
pelaksanaanya, masyarakat mana saja yang menjadi sasaran program, apa bentuk
programnya, bagaimana parameternya, dan bagaimana hasil evaluasinya.
In fact CSR budget
realization is not
clear allocation.
It is not clear how
much the budget, how the implementation, Which people were targeted program, what form the program, how the parameter, and how the evaluation result.
Masyarakat di wilayah AMDAL tidak bisa mengakses
informasi terkait besaran anggaran yang disediakan dan peruntukannya. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan
oleh Perusahaan (MTS), terhitung
gagal percuma, karena dilakukan setengah hati. Tidak ada sustainabilitas
program, terkesan pihak MTS hanya sekedar menggugurkan kewajiban.
Communities in the EIA can not access the information related amount of budget provided and allocation.
Some of activities performed by the
Company (MTS), countless to fail, because it is done half-heartedly. There
is no sustainability program, Impressed the MTS just abort the obligation.
Karena anggaran CSR menggunakan uang Negara (dibayarkan
melalui cost recovery), dan
dianggarkan setiap tahunnya (single years),
namun hasil pemanfaatan anggaran tersebut tidak jelas di masyarakat, maka dugaan
kuat adanya korupsi terhadap penggunaan anggaran tersebut, tidak dapat
terbantahkan. Tentu saja Negara dirugikan, sebab uang yang dipakai adalah
terhitung uang Negara. Pada kenyataannya masyarakat tidak menikmati anggaran
tersebut.
Because CSR budget using State
money (paid through cost recovery), and budgeted annually (single years), but utilization of the
budget is not clear in community, the strongly
suspected of corruption on the use of budget, can not undeniable. Of
course the
State disadvantaged, because the money used is count money
the State. In fact community does not advantage the budget.
Untuk dapat memahami pelaksanaan kegiatan perusahaan di
komunitas, yang nota bene menggunakan uang Negara, berikut kami tampilkan
perjalanan kegiatan Perusahaan (MTS) dari waktu ke waktu:
To understand the implementation
of company's activities in
community, that in fact using state money, following show the activities
of the Company (MTS) from time to time:
Grafik diatas memberikan informasi penting terkait
pelaksanaan kegiatan oleh Perusahaan “yang
katanya CSR” yang mencakup wilayah Mamosalato dan Bungku Utara. Di wilayah
Mamosalato, tercatat aktivitas Perusahaan baru dimulai pada tahun 2008 (setelah demonstrasi bulan september-november
tahun 2007). Kegiatan tersebut sempat berhenti di tahun 2009, kemudian dimulai
lagi pada tahun 2010 (setelah pertemuan
dengan Pemda Morowali dan adanya demonstrasi di tahun itu). Selanjutnya
kegiatan Perusahaan berjalan lagi di akhir tahun 2011 (pasca demonstrasi berdarah 22 Agustus 2011, 2 demonstran tewas).
The graph above gives important information related to
implementation activities by the
Company "which he said
CSR", which include area Mamosalato
and North Bungku. In
Mamosalato, noted the activity of
company started in 2008 (after a demonstration September-November in 2007). The
activity was stopped in 2009, and started again in 2010 (after
meeting with Morowali local government and demonstration
in that year). Further
activities of the Company is running
again at the end
of 2011 (after the bloody demonstrations August 22, 2011, two protesters were
killed).
Ada yang menarik dari informasi terkait aktivitas Perusahaan
(MTS) di wilayah Mamosalato, yaitu pihak MTS hanya akan memberi bantuan ke
warga, apabila warga berdemonstrasi ke perusahaan. Setelah itu, kurun beberapa
waktu, pihak MTS cenderung mengalami amnesia dan pura-pura lupa dengan komitmen
yang telah dibuat bersama warga. Pada akhirnya kemarahan warga muncuat kembali,
aktivitas demonstrasi warga berulang lagi, hingga kesekian kalinya pihak MTS
mengajak warga untuk kembali bernegosiasi. Dengan demikian, tentu tidak salah
jika ada anggapan, pihak Perusahaan (MTS)
sengaja memelihara konflik diwilayah ini. Sehingga bukan salah masyarakat, jika
pada akhirnya, mereka marah, dan bertindak anarkis. Penyebabnya adalah
masyarakat seringkali dibohongi dan diberi harapan palsu oleh pihak Perusahaan.
Masyarakat (warga nelayan) tidak
punya pilihan lain, selain mencari cara untuk bertahan hidup. Sekalipun harus
berkonflik dengan pihak Perusahaan. Sebab, praktis setelah Perusahaan
beroperasi, wilayah pemancingan mereka diambil-alih, warga nelayan hidup
menjadi miskin. Kemiskinan yang mereka alami, bukan berasal dari faktor
kemalasan, melainkan karena mereka dipaksa untuk menjadi miskin.
There is interesting information related to activities of companies
(MTS) in region Mamosalato,
that the MTS
will only give
assistance to residents, if citizens marched
on the company. After
that, over time, the MTS likely have amnesia and pretended to forget with commitment had been made with the residents. Ultimately the
anger of residents sticking again,
demonstration activities of residents over and over again, until umpteenth time the MTS invite residents to re-negotiate. As such, certainly not wrong if there is an assumption, the Company (MTS) purposely
maintains the conflict in region. So that not fault the
community, if eventually,
they are angry, and anarchy. The
causes are often lied to the community, and given false
hope by the Company. Community (fishermen) had no choice, other than finding ways to survive. Although should conflict with the Company. Therefore, practically after the Company operates, their fishing territory was taken over, fishermen live to be poor. Poverty that they experience, not from laziness factor, but they are forced to be poor.
Catatan selanjutnya, yang terekam dalam grafik diatas
adalah informasi tentang tidak adanya aktivitas pihak MTS sejak tahun 1997
sampai tahun 2007. Praktis terdapat kurun waktu 11 tahun tanpa kegiatan apapun
dimasyarakat.
Next
record,
recorded in the chart above is the lack of information about activities
of MTS since 1997 until 2007.
Practically there is a period
of 11 years without any activity in community.
Adapun rekam jejak kegiatan MTS di Bungku Utara, baru
dimulai di akhir tahun 2011 (setelah
demonstrasi di tahun 2010 dan demonstrasi berdarah 22 Agustus 2011). Hingga
tahun 2012, di Bungku Utara, timbul pro kontra terkait penetapan wilayah AMDAL.
Pihak MTS hanya memasukkan Desa Baturube sebagai satu-satunya Desa yang masuk
wilayah AMDAL. Padahal terdapat 5 (lima) Desa pesisir lainnya yang pantas masuk
ke dalam wilayah AMDAL Perusahaan.
The track record activities of the Company (MTS) in North Bungku,
Started at
the end of 2011 (after a demonstration
in 2010 and bloody
demonstrations August 22, 2011).
Until 2012, in North Bungku, arise pros and cons related zoning EIA. The MTS included only the Baturube village as the only village that are in the EIA. Whereas there are five other coastal village appropriate entry into the territory of the Company EIA.
Pendekatan konflik yang diterapkan oleh Perusahaan di
wilayah Mamosalato, juga diterapkan di wilayah Bungku Utara. Pihak Perusahaan akan merespon aspirasi masyarakat, jika masyarakat berdemonstrasi. Lagi-lagi pihak
Perusahaan menunjukkan wataknya yang senang menggunakan pendekatan konflik terhadap masyarakat. Tentu
saja, sikap Perusahaan ini berimplikasi pada konflik berkepanjangan dan dapat memicu konflik yang lebih besar dimasa-masa yang akan datang. Hal ini dapat terjadi jika Perusahaan tidak merubah pola
pendekatan mereka dalam merespon aspirasi warga diwilayah AMDAL. Dengan
demikian tidak ada jaminan, bahwa konflik berdarah Tiaka, tidak akan terulang
kembali, dengan kemungkinan ekskalasi konflik yang lebih besar dimasa-masa yang
akan datang.
Conflict approach adopted by the Company in Mamosalato, also implemented in the North Bungku. The company, will respond to community requests, if the community demonstration. Again, the
company showed character
who likes to invite conflict in the
community. Of course, the attitude
of these companies is potential to cause significant
conflict in times future, if the Company did not change pattern approach, respond to the aspirations of region in their EIA. As such there is no guarantee, Tiaka bloody conflict, not likely to recur, with the possibility
of a greater escalation of the
conflict again, in
the future.
to be continued... human right violations
to be continued... human right violations
Post a Comment