Header Ads

test

Dewan Itu Bukan Tempat Mencari Kerja

Jakarta - Saya termasuk orang yang beruntung, lahir dari generasi pendidik (Guru), kakek seorang perintis pendidikan, Ibu juga seorang pendidik, Ilmu itu satu satunya warisan yang kami nikmati sampai hari ini. Hampir tidak ada tradisi dalam keluarga kami, untuk hidup menumpuk kekayaan, bahkan Kakek kami tinggal cukup lama di Rumah Dinas Pemberian Pemerintah (Rumah Inpres Guru) sampai kemudian Rumah itu hancur karena lapuk, dan hingga saat ini, wafat dengan menempati rumah sederhana di kampung, tempat terakhir pensiun sebagai Guru. 

Keberuntungan sebagai anak pendidik, sejak kecil, sudah dipaksa untuk "berfikir", sekalipun masih anak anak, terkadang terasa menjengkelkan ketika waktu-waktu bermain, Orang Tua meminta kami untuk meninggalkan permainan, dan meluangkan waktu untuk belajar. Sempat ketika suatu waktu, mendekati ujian nasional di SDN Kolo Bawah, Kakek menyuruh saya, untuk belajar lebih keras, mengurung saya selama hampir 1 bulan lamanya, untuk mempersiapkan semua mata pelajaran, seperti matematika, ilmu sosial, ilmu alam, dan lain lain sebagainya. Saya pun merasa tertekan ketika itu, mengapa anak anak seperti saya, justru dipaksa untuk belajar sesuatu yang saya tidak sukai. Pada akhirnya saya baru menyadari, kakek sedang berusaha mengajarkan disiplin dan kerja keras, bahwa untuk bisa meraih kesuksesan, seseorang itu harus "memaksakan dirinya" untuk belajar terus menerus.

Dalam suatu kesempatan yang lain, ketika saya masih sekolah di SMPN 1 Luwuk, waktu itu masih duduk dibangku kelas 1, ketika diwaktu libur sekolah, saya berkesempatan mengikuti kakek pergi melihat Kebun Cengkeh, dimana pada saat itu, hasil perkebunan cengkeh sedang bagus bagusnya, sampai sampai kakek bisa membeli Mesin Diesel untuk keperluan elektrifikasi di rumah (saat itu, belum ada listrik). Ditengah tengah aktivitas menikmati kegiatan memetik cengkeh, dengan riang gembira, kami ikut memetik cengkeh di kebun, sayapun tidak bisa memanjat pucuk pohon yang terlampau tinggi. Namun berbeda dengan Nenek yang ketika itu ikut serta menemani kami, paling mahir memanjat pohon cengkeh, berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain, sekalipun pucuk pohonnya begitu tinggi.

Disela sela istirahat, kakek pun menitipkan pesan kepada kami cucu cunya, bahwa "nak kamu harus sekolah dengan baik, saya melihat tidak ada bakatmu untuk menjadi pekebun, takdirmu bukan tinggal di desa, sekolah itu akan memberimu keberuntungan, generasimu sudah tidak cocok hidup seperti generasi kakek, merasakan penjajahan jepang, kerja otot menjadi tumpuan kehidupan, generasimu akan banyak bekerja menggunakan otak dibandingkan kerja seharian berkebun seperti aktivitas kakek disela sela berhenti dari profesi sebagai Guru.

Waktu pun kemudian berlalu begitu cepat, Kakek sudah wafat menjelang Pilpres 2014, dan meninggalkan banyak kenangan buat kami cucu cucunya. Ketika berkesempatan hijrah ke Jakarta, waktu itu tepatnya beberapa bulan setelah sempat menetap di Jogjakarta untuk menuntaskan studi Magister terakhir, karena sempat tertunda karena harus menjalani proses hukum hampir setahun lamanya, menghadapi Kasus Konflik Rakyat (Tiaka), kemudian secara tidak sengaja dipertemukan dengan Tokoh Tokoh Papua Dalam sebuah forum penting, di Jakarta, dan sayapun ikut dipercaya menjadi bagian dari penyusun materi, melihat CV saya yang berasal dari seorang Epidemiolog.

Hampir 5 tahun lamanya bekerja bersama tokoh tokoh di Tanah Papua, menghadapi kasus pelanggaran HAM, mafia infrastruktur, kriminalisasi tokoh tokoh pejuang Papua. Termasuk melihat dari dekat "dialektika" pengambilan keputusan strategis, dalam penetapan anggaran, penyusunan Undang Undang, perdebatan politis "kepentingan" semua partai politik di gedung Parlemen RI.

Saya melihat banyak hal, dan menyimpulkan beberapa hal penting, ada sebagian besar dari anggota parlemen yang memilih untuk "menjadi master proyek: semacam spesialisasi keahlian dibidang transaksi proyek proyek besar", dimana mereka keluar masuk "kantor kementerian" untuk menjemput proyek, dalam kelas yang sedikit berbeda (Borju-Politic), pertemuan pertemuan itu bisa terjadi di hotel hotel, apartemen mewah, dan restoran elit di Jakarta. Disepanjang umur pengabdian mereka, dihabiskan untuk "mengais" jejak jejak anggaran, sekecil apapun yang tersisa, tidak pernah luput dari penciuman para Anleg.

Dalam skala yang lebih kecil, di level Kabupaten Kota, bahkan para Anleg rela adu jotos, untuk sekedar memperebutkan "proyek PL", bahkan masyarakat tidak bisa membedakan, mana anggota Anleg, dan mana broker, karena "face" mereka hampir serupa, letak perbedaannya hanya satu, di dada si Anleg  tersemat lambang "Garuda", dan yang lainnya dapat dengan mudah diidentifikasi dengan mengecek "sounding" - "bosku, masih ada jatah aspirasi untuk saya"..

Maka tidak mengherankan, setiap momentum Pileg, banyak yang belomba lomba mencoba peruntungan menjadi "Anleg", bahkan event Pemilu Legislatif, menjadi ajang "Mencari Lapangan Pekerjaan".

Ada relevansi, pesan Kakek kepada kami, untuk terbiasa menjadi pembelajar sejak kecil, agar punya kompetensi yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Ketika dalam "alam pikiran" seseorang, hanya termotivasi untuk mencari pekerjaan, maka "sounding" yang mereka tampilkan adalah janji akan membangun ini dan itu, bahkan ada klaim yang terbilang "funny" kalau bukan saya, pasti tidak akan ada itu.

yOURS not Eksekutif, yOURS exactly just watchdog..

Yang dipahami oleh mereka hanyalah "bekerja sebagaimana mereka makan"..

#Alfatihah Untuk Kakek dan Guru Kami (Halima Makuasa)..

Author: Andri Muhammad Sondeng, MPH

Tidak ada komentar