Header Ads

test

Analisis Krisis Venezuela: Indonesia Diselamatkan Oleh Ekonomi Emak-Emak


Jakarta - Apakah anda sudah mendengar atau setidak-tidaknya sudah membaca berita terkait kondisi krisis yang dialami oleh negara Petro Dollar Venezuela, dimana krisis ini terbilang sangat mengejutkan. Mengapa tidak, Negara Venezuela selama ini, dikenal sebagai negara "petro dollar", yang secara dominan mengekspor minyak ke seluruh dunia (salah satu negara penting dalam keanggotaan Opec).

Sepintas tidak ada yang bermasalah dengan indikator ekonomi negara ini, sebab negara Venezuela sendiri memiliki Current Account yang ternyata positif, yaitu senilai 2% di awal Tahun 2019 (Data IMF). Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki Current Account yang ternyata negative (-1,70). Yang berarti Venezuela memiliki cukup uang dalam bentuk foreign money, terutama USD, untuk membayar sejumlah kewajiban terutang ke luar negeri, yang pastinya di topang oleh kegiatan ekspor migas negara itu. Sehingga tidak begitu mengherankan, jika nilai Current Account Venezuela bernilai positif, sebab negara ini merupakan salah satu negara pengekspor migas terbesar di dunia.

Lalu mengapa Venezuela justru mengalami krisis ekonomi? untuk menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya kita terlebih dahulu, perlu mengetahui kondisi inflasi yang terjadi di negeri Venezuela baru baru ini.

Perbandingan harga ayam potong di Venezuela dan Indonesia:

Harga yang ditunjukkan dalam data grafik diatas (diolah dari SkyNews), menunjukkan harga setiap 100 Gram ayam yang dijual di Negara Venezuela senilai 3,3 Juta, sedangkan di Indonesia harga per 100 Gramnya hanya bernilai 3 Ribu Rupiah (Rp 3,433). Nilai ini diperoleh setelah membandingkan harga ayam Broiler yang dijual dipasar Indonesia yang bernilai diantara Rp 28.500 – Rp 30.900 per 900 gram (ukuran rata rata 1 ekor ayam Broiler). Sedangkan nilai asal yang diperoleh dalam perhitungan harga ayam di negara Venezuela berasal dari harga ayam yang dirilis oleh SkyNews, dimana untuk membeli 2,4Kg ayam di negara itu, penduduk Venezuela harus merogok kantong sebesar 14,600,000 Bolivar (VEF) atau setara dengan Rp 80 Juta (reference Kurs 5,49 IDR/VER update pertanggal 26 Januari 2019).

Dalam catatan IMF, kondisi inflasi yang terjadi di Venezuela yang mengakibatkan meroketnya harga harga konsumsi di negeri tersebut, berada pada angka 1.300.000%, perhatikan angka inflasinya tembus diangka 7 digit. Ini benar benar kondisi inflasi “tergila”, yang pernah dialami oleh negara petrodollar Venezuela.

Ditengah-tengah surplus perdagangan diluar negeri, karena masih didongkrak oleh nilai ekspor migas, ternyata Venezuela tidak bisa diselamatkan dari “disaster” resesi ekonomi yang begitu sangat buruk. Ternyata ada satu indikator ekonomi lainnya yang diyakini sangat menentukan, nilai perekonomian dihampir seluruh negara, salah satunya seperti yang terjadi di Indonesia. Indikator ini, terbaca berkinerja buruk, dan diyakini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara makro di Venezuela.

Mari perhatikan perbandingan konsumsi masyarakat di Venezuela dan Indonesia (sumber data IMF 2019):

Dari grafik diatas, tampak diferensiasi jumlah konsumsi masyarakat yang ditunjukkan oleh negara Venezuela dan Indonesia, bagaikan bumi dan langit. Jika Masyarakat Indonesia (terutama emak-emak) mampu membelanjakan uang sebanyak Rp 1440 Triliun dalam satu tahun kegiatan ekonomi, maka masyarakat Venezuela justru terlihat sangat “malas” mengeluarkan uang untuk berbelanja, dalam catatan IMF hanya menunjukkan angka 10.233 Million Bolivar (VEF) atau setara 56,18 Miliar Rupiah (Kurs reference 5,49 Bolivar/IDR).

Maka, belajar dari negara kaya minyak seperti Venezuela, bahwa tidak begitu penting rupanya, sebuah negara kaya dengan sumber daya migas, menghasilkan current account mencapai 2%, namun indikator konsumsi masyarakatnya justru bernilai negatif.

Artinya peran konsumsi masyarakat, yang ditopang oleh belanja emak-emak ke pasar, membeli ikan dan daging untuk sarapan keluarga, membeli susu untuk bayinya, membeli baju sekolah untuk anak-anaknya, bernilai sangat mewah untuk negeri sekelas Venezuela, namun dipandang “sebelah mata” di negeri bernama Indonesia. Seolah-olah yang terpenting bagi Indonesia saat ini, adalah mendorong belanja infrastruktur jauh lebih penting (memberi makan orang-orang partai dan pengusaha Asing), dibandingkan menyediakan harga yang terjangkau bagi emak-emak untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yang ternyata mencetak kontribusi perekonomian mencapai 1.440 Triliun Rupiah.

Lihat perbandingan kontribusi belanja emak-emak dengan belanja infrastruktur sebagai berikut:

Dalam catatan kinerja perekonomian Indonesia (ingat perbandingan kedua indikator, bukan dengan variable lainnya), ternyata belanja di sektor Infrastruktur hanya mampu berkontribusi sebesar 15,56%, bandingkan dengan konsumsi emak-emak yang mampu menopang perekonomian hingga 84,44%. Nilai current kontribusi infrastruktur dalam perekonomian hanya mencapai 265 Triliun Rupiah sedangkan konsumsi emak-emak mencapai 1440 Triliun Rupiah.

Nah, sekarang, siapa sebenarnya yang pantas diberi gelar pahlawan ekonomi? ekonomi emak-emak ataukah Pengusaha Asing yang selalu dibangga-banggakan bisa membangun jalan tol, power plant, bandara, dan lain lain, ataukah afiliasi pengusaha-parpol yang ikut nimbrung dalam kegiatan infrastruktur yang diselenggarakan oleh Pemerintah?

Fakta ekonomi membuktikan sekali lagi, negara Indonesia mampu bertahan dari “terjangan” badai melemahnya perekonomian global, bukan oleh faktor investasi asing, tetapi oleh kinerja belanja emak-emak yang setiap harinya berbelanja di pasar pasar.

Emak-emak adalah pahlawan perekonomian Indonesia, bukan yang lainnya.