BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT: INALUM Menghisap Papua
Litbang Willem Wandik – Fakta renegosiasi saham Freeport McMoran yang dibeli oleh Pemerintah Pusat melalui induk holding INALUM secara perlahan membuka tabir penting, terutama menyoal posisi Pemprov Papua dan Pemkab Mimika yang dijanjikan prosentase saham senilai 10% dari total akusisi saham mencapai 51,23% yang dimiliki oleh Indonesia sejak terbitnya rezim kontrak baru di Tahun 2022.
Agar lebih mudah memahami, proporsi saham yang diperdagangkan dalam agenda divestasi yang sudah difinalisasi pada tanggal 21/12/2018, dengan hasil 51,23% komposisi saham milik Indonesia (baca: penggunaan istilah Indonesia, untuk menyimpulkan interest baik oleh Pusat/Daerah sama-sama dikategorikan sebagai “share” milik Indonesia) pada dasarnya membahas dua agenda akuisisi utama, pertama, “participating interest” milik Rio Tinto, dan kedua, “share” milik PT. Indocopper Investama (PT.II), seperti yang tampak pada penjelasan resmi Freeport McMoran sebagai berikut:
“PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (PT Inalum), a state-owned enterprise that is wholly owned by the Indonesian government, completed the previously announced $3.5 billion cash acquisition of all of Rio Tinto's interests associated with its joint venture with PT-FI (Joint Venture), and the $350 million cash acquisition of 100 percent of FCX's interests in PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (formerly known as PT Indocopper Investama), which owns 9.36 percent of PT-FI. In connection with the transaction, the Joint Venture interests are being merged into PT-FI in exchange for a 40 percent share ownership in PT-FI. As a result, PT Inalum and the provincial/regional government’s share ownership of PT-FI approximates 51.2 percent of PT-FI and FCX's share ownership approximates 48.8 percent.”
Secara garis besar, press release Freeport McMoran memberikan informasi yang bisa dicerna oleh publik nasional, terutama bagi rakyat di Tanah Papua, bahwa INALUM mengakusisi “participating of interest” 40% yang dimiliki oleh Rio Tinto dan “share” 9,36% yang dikuasai PT.IndocoPper Investama (100% milik McMoran). Angka 40% milik Rio Tinto tesebut bukanlah nilai “current” penguasaan saham di PT. FI, akan tetapi berbentuk “interest in certain assets, in the form production exceeding specified annual amounts of copper, gold and silver”. Sehingga nilai sebenarnya jika dikonversi kedalam bentuk saham, berkisar diangka 32,51%. Dengan demikian, ketika menghitung rumus konversi saham di PT. FI, maka menjadi masuk akal apabila nilai penggabungan saham Rio Tinto, PT.II dan Indonesia Share sejak 1990 menjadi 51,23%.
Yang menarik adalah, untuk membeli “participating of interest” milik Rio Tinto, INALUM harus mengeluarkan dana mencapai $107,7 Juta untuk membeli setiap 1% saham yang dimiliki oleh Rio Tinto (nilai ini setara dengan Rp 1,56 Triliun). Namun nilai transaksi ini, jauh berbeda dengan nilai pembelian saham di PT. Indocopper Investama (PT.II) yang dihargai dengan nilai $37,4 Juta untuk setiap pembelian 1% saham (setara dengan nilai Rp 542 Miliar). Maka dapat disimpulkan, terdapat perbedaan perlakuan “nilai saham” antara Rio Tinto dengan PT. II, yang dibeli oleh INALUM.
Sejauh yang sudah dipublikasi oleh Pemerintah, bahwa komitmen penyerahan saham10% kepada Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) akan benar-benar direalisasikan. Namun, yang menjadi pertanyaan besar bagi publik di Tanah Papua, saham yang mana, yang akan diambil alih oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika? apakah saham yang berasal dari Rio Tinto ataukah saham yang berasal dari PT. II.
Kitapun mendapatkan “message” yang jelas, terkait keikutsertaan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, sebagaimana yang disampaikan dalam press release Freeport McMoran, dengan redaksi sebagai berikut “As a result, PT Inalum and the provincial/regional government’s share ownership of PT-FI approximates 51.2 percent of PT-FI and FCX's share ownership approximates 48.8 percent.” Dalam kesempatan yang lain, Pemerintah menjelaskan bagian saham 10% untuk Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) itu berasal dari saham yang dimiliki oleh PT. Indocopper Investama, dengan komposisi kepemilikan saham di PT.II akan dikuasai oleh INALUM sebesar 60%, dan sisanya sebesar 40% menjadi milik Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika). Kepemilikan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika tersebut akan dilaksanakan oleh BUMD Daerah, melalui PT. Papua Divestasi Mandiri, seperti yang dikonfirmasi oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe pada forum penandatanganan Perjanjian antara Pemerintah Pusat, Pemprov Papua, Pemkab Mimika, dan Inalum, tanggal 12 Januari 2018. Dimana penjabaran kepemilikan Pemprov Papua di PT. Papua Divestasi Mandiri hanya sebesar 3%, sedangkan untuk Pemkab Mimika mencapai 7%.
Disini terlihat jelas, bahwa niat untuk mengakuisisi saham PT. FI, oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe, tidak semata-mata untuk kepentingan birokrasi Pemerintah Provinsi saja, namun, jauh lebih dari itu, Lukas Enembe justru mempersilahkan kepada Pemkab Mimika untuk mengambil nilai proporsi saham, yang jauh lebih besar, 2 kali lipat dibandingkan yang dperoleh Pemprov Papua. Kebijakan Gubernur Papua dalam meng-endorse kepemilikan saham bagi daerah penghasil tambang, di Timika, bukanlah kebijakan yang baru dibuat oleh Gubernur. Dalam kebijakan alokasi anggaran Otsus pun, untuk pertamakalinya dalam sejarah di Tanah Papua, Lukas Enembe menawarkan reposisi pembagian anggaran yang dulunya sebelum tahun 2013, seperti yang dilaksanakan oleh Gubernur-Gubernur sebelumnya, alokasi anggaran otsus diperuntukkan 80% untuk Pemerintah Provinsi Papua, sedangkan sisanya 20% untuk seluruh Kabupaten/Kota di Tanah Papua, kemudian dirubah oleh Lukas Enembe dengan mengajukan kepada Presiden SBY saat itu, agar Kabupaten/Kota menerima jatah 80% porsi anggaran Otsus, dan sisanya 20% diserahkan kepada Provinsi. Kedua subyek kebijakan (baik dana otsus, maupun komposisi kepemilikan saham PT. FI) selalu mendahulukan kepentingan masyarakat kecil di “beranda pelayanan terdepan” yang diwakili oleh daerah daerah otonom Kabupaten/Kota.
Apakah semangat patriotisme dan nasionalisme sejati, seorang Lukas Enembe, kemudian menular secara positif (meng-influence) para pengambil kebijakan di level nasional? untuk berbuat hal yang sama? mengutamakan “keuntungan” yang diperoleh bagi masyarakat dipelosok-pelosok kampung, distrik, gunung, lembah terpencil, kepulauan? ataukah, justru para “decision maker” di level nasional sibuk menghitung, UNTUNG-RUGI yang mereka peroleh, termasuk saat menyerahkan saham 10% ke Tanah Papua? apakah itu benar-benar gratis? atau setidak-tidaknya dilaksanakan dengan niat baik untuk “menolong” Tanah Papua, keluar dari ketergantungan “pendanaan” dari subsidi dan belas kasih Pemerintah Pusat? Mari kita uji hipotesis yang telah disebutkan diatas, dengan mengajukan “fakta” divestasi yang diterapkan oleh INALUM (baca: Pemerintah Pusat) kepada Tanah Papua.
Penjabaran 10% saham yang diserahkan ke Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) sejatinya ter-dilusi kedalam kepemilikan saham PT. Indocopper Investama, yang menegaskan kepemilikan saham Tanah Papua sejatinya bernilai 40% dari komposisi 25% saham PT. II di PT. Freeport Indonesia. Sedangkan INALUM sendiri memiliki 60% dari komposisi 25% saham PT.II di PT. Freeport Indonesia. Dari deskripsi yang telah disebutkan sebelumnya, terlihat bahwa pasca renegosiasi kontrak PT. FI beserta agenda divestasi didalamnya, “share” PT. Indocopper Investama bertambah dari 9,36% menjadi 25%.
Kita pun dapat mengambil kesimpulan, bahwa Otoritas Pemerintah Pusat tetap mempertahankan “split share” diantara PT. II dan saham induk yang dikuasai oleh Pemerintah (ketentuan artikel kontrak 1990). Ini terlihat aneh, sebab, seharusnya “split share” itu tidak perlu dilakukan oleh pihak Indonesia (baca: INALUM), karena akan semakin memperkecil “peran sebagai saham pengendali” di PT. Freeport Indonesia, atau INALUM secara sengaja menyerahkan saham pengendali di PT. FI kepada Freeport McMoran? jika kita mengkonversi kedalam pembagian saham secara proporsional, maka ditemukan angka “share” sebagai berikut: saham terbesar dikuasai oleh Freeport McMoran mencapai 48,8% (tentunya menjadi saham pengendali), kemudian disusul oleh INALUM (INTI) mencapai 26.2%, ketiga dikuasai oleh INALUM (TER-INKORPORASI KE PT.II) sebesar 15%, dan terakhir dimiliki oleh PT. Papua Divestasi Mandiri (milik Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) sebesar 10%. Dalam kesempatan yang lain, akan menarik, jika kita bisa membahas, mengapa INALUM/Pusat mengatur komposisi “split share” sedemikian rupa, sehingga menyerahkan pengelolaan Freeport tetap dikendalikan oleh McMoran. Apakah ini yang disebut sebagai “negosiasi yang terbeli?”
Yang menarik dalam pernyataan resmi Freeport McMoran, mereka mengklaim sebagai berikut: “The arrangements provide for FCX and the pre-transaction PT-FI shareholders to retain the economics of the revenue and cost sharing arrangements under the Joint Venture. As a result, FCX’s economic interest in PT-FI is expected to approximate 81.28 percent through 2022. FCX will continue to manage the operations of PT-FI”. Narasi diatas terlihat aneh, sebab, Freeport McMoran masih mengklaim, bahwa perusahaannya, akan melanjutkan “tradisi” mengelola pengoperasian PT. FI pasca persetujuan kontrak. Jika melihat komposisi saham yang dibagi kedalam struktur pemegang saham, maka terlihat, adalah fakta yang tidak bisa dibantah, McMoran masih menjadi “pengendali saham” di PT. FI, sekalipun Indonesia telah mengklaim membeli 51,23% (publik seperti membaca cerita fiksi, antara ada dan tiada, namun inilah realitas yang sebenarnya terjadi).
Dibalik keanehan struktur pemegang saham yang dibagi-bagi kedalam beberapa “entitas korporasi” berbeda, yang menarik untuk dilihat pula adalah, berapa nilai saham (harga per unit saham) yang ditawarkan ke Pemprov Papua dan Pemkab Mimika setelah INALUM mengakuisisi saham PT. Freeport Indonesia? dalam penjelasan resmi pihak Pemerintah, sebagai harga nilai saham final, INALUM akan menyerahkan 10% saham PT Freeport Indonesia (atau faktanya: 40% komposisi saham PT.II) kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, dengan nilai pinjaman terhutang sebesar $850 Juta atau setara dengan Rp 12,3 Triliun.
Perlu di headline bahwa INALUM memberikan “Pinjaman Utang” kepada Tanah Papua sebesar $850 Juta (Rp 12,3 Triliun) untuk memiliki 40% saham di PT. Indocopper Investama. Yang berarti, INALUM menjual saham PT. II yang dibeli dengan harga $37,39 Juta (setara 542 Miliar) setiap 1% saham yang dimiliki PT.II, kemudian dijual oleh INALUM kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika dengan harga $85 Juta (setara Rp 1,23 Triliun) per 1% saham. Apakah masuk akal, Pemerintah Pusat membeli dengan harga yang murah ke Freeport McMoran, lalu menjual dengan harga 2 kali lipat lebih mahal kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika? dimana hati nurani para pengambil kebijakan di republik ini.
Realitas ini serupa dengan praktek penguasaan “capital” di Tanah Papua, dimana orang-orang asli Papua, seringkali tidak dilayani ketika meminjam uang di perbankan, padahal mereka memiliki “lahan dan sumber daya” untuk membuka berbagai jenis usaha, namun terkendala dengan “ketersediaan modal” yang terbatas. Satu-satunya kesempatan mereka untuk berusaha adalah melalui “pinjaman utang” untuk modal usaha diperbankan. lantas penilaian perbankan terlihat subyektif ketika “melihat orang orang berkulit hitam dan berambut keriting” datang mengajukan pinjaman di Bank (cenderung mengalami rejected). Jika disaat mengunjungi teller bank, tidak menggunakan “emas” disekujur badan, memakai mobil sekelas Fortuner, maka orang orang berambut keriting tidak akan mendapatkan “approve” yang cepat dalam pelayanan “pinjaman perbankan”.
Bahwa orang asli Papua sebagai pemilik sumber daya alam, emas berton-ton yang di ekspor ke luar negeri, plus mineral ikutan yang begitu besar, namun untuk memilikinya, rakyat di Tanah Papua bahkan harus membelinya dengan harga yang jauh lebih mahal, dibandingkan harga yang dibeli oleh INALUM ke Freeport McMoran. Kami pun membaca dengan teliti, bahkan dengan hati hati, dan kami pahami, bahwa salah satu alasan mengapa saham Rio Tinto lebih mahal karena Rio Tinto menguasai jumlah aset yang lebih besar, seperti yang digambarkan oleh McMoran sebagai: “in the form production exceeding specified annual amounts of copper, gold and silver” yang mencapai 40% dari total keseluruhan produksi PT. FI. Akan tetapi status saham yang dibeli oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, bukanlah saham yang secara signifikan berpengaruh terhadap total “produksi” di PT. FI, yang berarti sama saja dengan status awal PT. II yang bersifat pasif, sekedar untuk memenuhi ketentuan agenda divestasi saham berdasarkan artikel Kontrak Karya 1990.
Maka dibalik judul, BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT, INALUM Menghisap Papua, dimana dalam nalar yang bisa di indera oleh pikiran yang masih sehat, bahwa INALUM Membeli Saham Freeport dengan nilai $350 Juta (Rp 5,1 Triliun, reference kurs BI, 14500, rerata 2-4 Januari 2019), namun menjualnya ke Pemprov Papua & Pemkab Mimika Mencapai $850 Juta (Rp 12,3 Triliun, reference kurs BI, 14500 rerata 2-4 Januari 2019) adalah sebuah fakta yang begitu sangat menyedihkan. Ketika terjadi gejolak ketidakpuasan ditengah-tengah rakyat OAP, yang berusaha “mengekspresikan ketidakpuasan mereka” terhadap sikap Pemimpin Nasional di Tanah Papua, maka stereotip sebagai “gerakan makar” kepada Negara, selalu menjadi narasi ampuh, yang akan disematkan kepada setiap pemikir dan pejuang Tanah Papua, bahkan elit nasional tidak begitu perduli apakah OAP yang bersuara itu sebagai Gubernur, DPRP, MRP, DPR RI, bahkan tokoh-tokoh gereja sekalipun.
BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT, adalah Simbol Penipuan Terbesar Elit Nasional, Yang Terus Dibenarkan, dan Tidak Bisa Diprotes, Karena NKRI itu Harga Mati.
Litbang Willem Wandik co Morowali Future
Willem Wandik S.Sos Adalah Anggota DPR RI Periode 2014-2019, Dari Provinsi Papua.
Agar lebih mudah memahami, proporsi saham yang diperdagangkan dalam agenda divestasi yang sudah difinalisasi pada tanggal 21/12/2018, dengan hasil 51,23% komposisi saham milik Indonesia (baca: penggunaan istilah Indonesia, untuk menyimpulkan interest baik oleh Pusat/Daerah sama-sama dikategorikan sebagai “share” milik Indonesia) pada dasarnya membahas dua agenda akuisisi utama, pertama, “participating interest” milik Rio Tinto, dan kedua, “share” milik PT. Indocopper Investama (PT.II), seperti yang tampak pada penjelasan resmi Freeport McMoran sebagai berikut:
“PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (PT Inalum), a state-owned enterprise that is wholly owned by the Indonesian government, completed the previously announced $3.5 billion cash acquisition of all of Rio Tinto's interests associated with its joint venture with PT-FI (Joint Venture), and the $350 million cash acquisition of 100 percent of FCX's interests in PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (formerly known as PT Indocopper Investama), which owns 9.36 percent of PT-FI. In connection with the transaction, the Joint Venture interests are being merged into PT-FI in exchange for a 40 percent share ownership in PT-FI. As a result, PT Inalum and the provincial/regional government’s share ownership of PT-FI approximates 51.2 percent of PT-FI and FCX's share ownership approximates 48.8 percent.”
Secara garis besar, press release Freeport McMoran memberikan informasi yang bisa dicerna oleh publik nasional, terutama bagi rakyat di Tanah Papua, bahwa INALUM mengakusisi “participating of interest” 40% yang dimiliki oleh Rio Tinto dan “share” 9,36% yang dikuasai PT.IndocoPper Investama (100% milik McMoran). Angka 40% milik Rio Tinto tesebut bukanlah nilai “current” penguasaan saham di PT. FI, akan tetapi berbentuk “interest in certain assets, in the form production exceeding specified annual amounts of copper, gold and silver”. Sehingga nilai sebenarnya jika dikonversi kedalam bentuk saham, berkisar diangka 32,51%. Dengan demikian, ketika menghitung rumus konversi saham di PT. FI, maka menjadi masuk akal apabila nilai penggabungan saham Rio Tinto, PT.II dan Indonesia Share sejak 1990 menjadi 51,23%.
Yang menarik adalah, untuk membeli “participating of interest” milik Rio Tinto, INALUM harus mengeluarkan dana mencapai $107,7 Juta untuk membeli setiap 1% saham yang dimiliki oleh Rio Tinto (nilai ini setara dengan Rp 1,56 Triliun). Namun nilai transaksi ini, jauh berbeda dengan nilai pembelian saham di PT. Indocopper Investama (PT.II) yang dihargai dengan nilai $37,4 Juta untuk setiap pembelian 1% saham (setara dengan nilai Rp 542 Miliar). Maka dapat disimpulkan, terdapat perbedaan perlakuan “nilai saham” antara Rio Tinto dengan PT. II, yang dibeli oleh INALUM.
Sejauh yang sudah dipublikasi oleh Pemerintah, bahwa komitmen penyerahan saham10% kepada Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) akan benar-benar direalisasikan. Namun, yang menjadi pertanyaan besar bagi publik di Tanah Papua, saham yang mana, yang akan diambil alih oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika? apakah saham yang berasal dari Rio Tinto ataukah saham yang berasal dari PT. II.
Kitapun mendapatkan “message” yang jelas, terkait keikutsertaan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, sebagaimana yang disampaikan dalam press release Freeport McMoran, dengan redaksi sebagai berikut “As a result, PT Inalum and the provincial/regional government’s share ownership of PT-FI approximates 51.2 percent of PT-FI and FCX's share ownership approximates 48.8 percent.” Dalam kesempatan yang lain, Pemerintah menjelaskan bagian saham 10% untuk Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) itu berasal dari saham yang dimiliki oleh PT. Indocopper Investama, dengan komposisi kepemilikan saham di PT.II akan dikuasai oleh INALUM sebesar 60%, dan sisanya sebesar 40% menjadi milik Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika). Kepemilikan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika tersebut akan dilaksanakan oleh BUMD Daerah, melalui PT. Papua Divestasi Mandiri, seperti yang dikonfirmasi oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe pada forum penandatanganan Perjanjian antara Pemerintah Pusat, Pemprov Papua, Pemkab Mimika, dan Inalum, tanggal 12 Januari 2018. Dimana penjabaran kepemilikan Pemprov Papua di PT. Papua Divestasi Mandiri hanya sebesar 3%, sedangkan untuk Pemkab Mimika mencapai 7%.
Disini terlihat jelas, bahwa niat untuk mengakuisisi saham PT. FI, oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe, tidak semata-mata untuk kepentingan birokrasi Pemerintah Provinsi saja, namun, jauh lebih dari itu, Lukas Enembe justru mempersilahkan kepada Pemkab Mimika untuk mengambil nilai proporsi saham, yang jauh lebih besar, 2 kali lipat dibandingkan yang dperoleh Pemprov Papua. Kebijakan Gubernur Papua dalam meng-endorse kepemilikan saham bagi daerah penghasil tambang, di Timika, bukanlah kebijakan yang baru dibuat oleh Gubernur. Dalam kebijakan alokasi anggaran Otsus pun, untuk pertamakalinya dalam sejarah di Tanah Papua, Lukas Enembe menawarkan reposisi pembagian anggaran yang dulunya sebelum tahun 2013, seperti yang dilaksanakan oleh Gubernur-Gubernur sebelumnya, alokasi anggaran otsus diperuntukkan 80% untuk Pemerintah Provinsi Papua, sedangkan sisanya 20% untuk seluruh Kabupaten/Kota di Tanah Papua, kemudian dirubah oleh Lukas Enembe dengan mengajukan kepada Presiden SBY saat itu, agar Kabupaten/Kota menerima jatah 80% porsi anggaran Otsus, dan sisanya 20% diserahkan kepada Provinsi. Kedua subyek kebijakan (baik dana otsus, maupun komposisi kepemilikan saham PT. FI) selalu mendahulukan kepentingan masyarakat kecil di “beranda pelayanan terdepan” yang diwakili oleh daerah daerah otonom Kabupaten/Kota.
Apakah semangat patriotisme dan nasionalisme sejati, seorang Lukas Enembe, kemudian menular secara positif (meng-influence) para pengambil kebijakan di level nasional? untuk berbuat hal yang sama? mengutamakan “keuntungan” yang diperoleh bagi masyarakat dipelosok-pelosok kampung, distrik, gunung, lembah terpencil, kepulauan? ataukah, justru para “decision maker” di level nasional sibuk menghitung, UNTUNG-RUGI yang mereka peroleh, termasuk saat menyerahkan saham 10% ke Tanah Papua? apakah itu benar-benar gratis? atau setidak-tidaknya dilaksanakan dengan niat baik untuk “menolong” Tanah Papua, keluar dari ketergantungan “pendanaan” dari subsidi dan belas kasih Pemerintah Pusat? Mari kita uji hipotesis yang telah disebutkan diatas, dengan mengajukan “fakta” divestasi yang diterapkan oleh INALUM (baca: Pemerintah Pusat) kepada Tanah Papua.
Penjabaran 10% saham yang diserahkan ke Tanah Papua (Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) sejatinya ter-dilusi kedalam kepemilikan saham PT. Indocopper Investama, yang menegaskan kepemilikan saham Tanah Papua sejatinya bernilai 40% dari komposisi 25% saham PT. II di PT. Freeport Indonesia. Sedangkan INALUM sendiri memiliki 60% dari komposisi 25% saham PT.II di PT. Freeport Indonesia. Dari deskripsi yang telah disebutkan sebelumnya, terlihat bahwa pasca renegosiasi kontrak PT. FI beserta agenda divestasi didalamnya, “share” PT. Indocopper Investama bertambah dari 9,36% menjadi 25%.
Kita pun dapat mengambil kesimpulan, bahwa Otoritas Pemerintah Pusat tetap mempertahankan “split share” diantara PT. II dan saham induk yang dikuasai oleh Pemerintah (ketentuan artikel kontrak 1990). Ini terlihat aneh, sebab, seharusnya “split share” itu tidak perlu dilakukan oleh pihak Indonesia (baca: INALUM), karena akan semakin memperkecil “peran sebagai saham pengendali” di PT. Freeport Indonesia, atau INALUM secara sengaja menyerahkan saham pengendali di PT. FI kepada Freeport McMoran? jika kita mengkonversi kedalam pembagian saham secara proporsional, maka ditemukan angka “share” sebagai berikut: saham terbesar dikuasai oleh Freeport McMoran mencapai 48,8% (tentunya menjadi saham pengendali), kemudian disusul oleh INALUM (INTI) mencapai 26.2%, ketiga dikuasai oleh INALUM (TER-INKORPORASI KE PT.II) sebesar 15%, dan terakhir dimiliki oleh PT. Papua Divestasi Mandiri (milik Pemprov Papua dan Pemkab Mimika) sebesar 10%. Dalam kesempatan yang lain, akan menarik, jika kita bisa membahas, mengapa INALUM/Pusat mengatur komposisi “split share” sedemikian rupa, sehingga menyerahkan pengelolaan Freeport tetap dikendalikan oleh McMoran. Apakah ini yang disebut sebagai “negosiasi yang terbeli?”
Yang menarik dalam pernyataan resmi Freeport McMoran, mereka mengklaim sebagai berikut: “The arrangements provide for FCX and the pre-transaction PT-FI shareholders to retain the economics of the revenue and cost sharing arrangements under the Joint Venture. As a result, FCX’s economic interest in PT-FI is expected to approximate 81.28 percent through 2022. FCX will continue to manage the operations of PT-FI”. Narasi diatas terlihat aneh, sebab, Freeport McMoran masih mengklaim, bahwa perusahaannya, akan melanjutkan “tradisi” mengelola pengoperasian PT. FI pasca persetujuan kontrak. Jika melihat komposisi saham yang dibagi kedalam struktur pemegang saham, maka terlihat, adalah fakta yang tidak bisa dibantah, McMoran masih menjadi “pengendali saham” di PT. FI, sekalipun Indonesia telah mengklaim membeli 51,23% (publik seperti membaca cerita fiksi, antara ada dan tiada, namun inilah realitas yang sebenarnya terjadi).
Dibalik keanehan struktur pemegang saham yang dibagi-bagi kedalam beberapa “entitas korporasi” berbeda, yang menarik untuk dilihat pula adalah, berapa nilai saham (harga per unit saham) yang ditawarkan ke Pemprov Papua dan Pemkab Mimika setelah INALUM mengakuisisi saham PT. Freeport Indonesia? dalam penjelasan resmi pihak Pemerintah, sebagai harga nilai saham final, INALUM akan menyerahkan 10% saham PT Freeport Indonesia (atau faktanya: 40% komposisi saham PT.II) kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, dengan nilai pinjaman terhutang sebesar $850 Juta atau setara dengan Rp 12,3 Triliun.
Perlu di headline bahwa INALUM memberikan “Pinjaman Utang” kepada Tanah Papua sebesar $850 Juta (Rp 12,3 Triliun) untuk memiliki 40% saham di PT. Indocopper Investama. Yang berarti, INALUM menjual saham PT. II yang dibeli dengan harga $37,39 Juta (setara 542 Miliar) setiap 1% saham yang dimiliki PT.II, kemudian dijual oleh INALUM kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika dengan harga $85 Juta (setara Rp 1,23 Triliun) per 1% saham. Apakah masuk akal, Pemerintah Pusat membeli dengan harga yang murah ke Freeport McMoran, lalu menjual dengan harga 2 kali lipat lebih mahal kepada Pemprov Papua dan Pemkab Mimika? dimana hati nurani para pengambil kebijakan di republik ini.
Realitas ini serupa dengan praktek penguasaan “capital” di Tanah Papua, dimana orang-orang asli Papua, seringkali tidak dilayani ketika meminjam uang di perbankan, padahal mereka memiliki “lahan dan sumber daya” untuk membuka berbagai jenis usaha, namun terkendala dengan “ketersediaan modal” yang terbatas. Satu-satunya kesempatan mereka untuk berusaha adalah melalui “pinjaman utang” untuk modal usaha diperbankan. lantas penilaian perbankan terlihat subyektif ketika “melihat orang orang berkulit hitam dan berambut keriting” datang mengajukan pinjaman di Bank (cenderung mengalami rejected). Jika disaat mengunjungi teller bank, tidak menggunakan “emas” disekujur badan, memakai mobil sekelas Fortuner, maka orang orang berambut keriting tidak akan mendapatkan “approve” yang cepat dalam pelayanan “pinjaman perbankan”.
Bahwa orang asli Papua sebagai pemilik sumber daya alam, emas berton-ton yang di ekspor ke luar negeri, plus mineral ikutan yang begitu besar, namun untuk memilikinya, rakyat di Tanah Papua bahkan harus membelinya dengan harga yang jauh lebih mahal, dibandingkan harga yang dibeli oleh INALUM ke Freeport McMoran. Kami pun membaca dengan teliti, bahkan dengan hati hati, dan kami pahami, bahwa salah satu alasan mengapa saham Rio Tinto lebih mahal karena Rio Tinto menguasai jumlah aset yang lebih besar, seperti yang digambarkan oleh McMoran sebagai: “in the form production exceeding specified annual amounts of copper, gold and silver” yang mencapai 40% dari total keseluruhan produksi PT. FI. Akan tetapi status saham yang dibeli oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, bukanlah saham yang secara signifikan berpengaruh terhadap total “produksi” di PT. FI, yang berarti sama saja dengan status awal PT. II yang bersifat pasif, sekedar untuk memenuhi ketentuan agenda divestasi saham berdasarkan artikel Kontrak Karya 1990.
Maka dibalik judul, BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT, INALUM Menghisap Papua, dimana dalam nalar yang bisa di indera oleh pikiran yang masih sehat, bahwa INALUM Membeli Saham Freeport dengan nilai $350 Juta (Rp 5,1 Triliun, reference kurs BI, 14500, rerata 2-4 Januari 2019), namun menjualnya ke Pemprov Papua & Pemkab Mimika Mencapai $850 Juta (Rp 12,3 Triliun, reference kurs BI, 14500 rerata 2-4 Januari 2019) adalah sebuah fakta yang begitu sangat menyedihkan. Ketika terjadi gejolak ketidakpuasan ditengah-tengah rakyat OAP, yang berusaha “mengekspresikan ketidakpuasan mereka” terhadap sikap Pemimpin Nasional di Tanah Papua, maka stereotip sebagai “gerakan makar” kepada Negara, selalu menjadi narasi ampuh, yang akan disematkan kepada setiap pemikir dan pejuang Tanah Papua, bahkan elit nasional tidak begitu perduli apakah OAP yang bersuara itu sebagai Gubernur, DPRP, MRP, DPR RI, bahkan tokoh-tokoh gereja sekalipun.
BUKU MERAH FIKSI SAHAM FREEPORT, adalah Simbol Penipuan Terbesar Elit Nasional, Yang Terus Dibenarkan, dan Tidak Bisa Diprotes, Karena NKRI itu Harga Mati.
Litbang Willem Wandik co Morowali Future
Willem Wandik S.Sos Adalah Anggota DPR RI Periode 2014-2019, Dari Provinsi Papua.
Post a Comment