JOB PERTAMINA-MEDCO MEMILIKI INFORMAN “MATA-MATA” DI SETIAP DESA, UNTUK MENGONTROL WILAYAH KONFLIK
Konflik Tiaka dan sekompleks
persoalannya, tampak rumit dan tidak mudah untuk pemecahan masalahnya. Banyak hal "pokok-pokok persoalan" yang tidak diketahui oleh masyarakat "publik" yang berada diluar konflik. Terkesan
konflik tiaka terus saja terpelihara tanpa penyelesaian atas tuntutan warga
nelayan yang telah kehilangan sumber pemancingan mereka.
Pihak JOB Pertamina-Medco pada dasarnya tidak
tinggal diam menyikapi gejolak konflik di masyarakat nelayan. Pihak perusahaan terus
berusaha meredam konflik dengan segala macam cara yang bisa mereka lakukan. Sayangnya
cara-cara Perusahaan menyelesaikan konflik, tidak mengarah pada penyelesain sumber
masalah yang mengakari konflik di wilayah nelayan. Padahal diketahui oleh
mereka, bahwa sumber konflik hanya satu yaitu nelayan kehilangan sumber
pemancingan, sehingga berdampak pada hilangnya sumber penghasilan dan akhirnya
menciptakan bencana pemiskinan bagi warga nelayan seperti yang terjadi di Desa
Kolo Bawah.
Tuntutan warga nelayan terbilang sangat sederhana, yaitu agar wilayah pemancingan yang dulunya dapat diakses oleh mereka sebelum Rig Minyak Tiaka beroperasi, kembali dapat di akses oleh para nelayan untuk membiayai kehidupan para nelayan tiap harinya. Saat ini nelayan-nelayan tradisional tersebut tidak diizinkan mencari hasil perikanan di wilayah yang menjadi lokasi Rig Minyak Tiaka. Pengakuan dan kesaksian dari warga nelayan, bahwa saat ini ikan-ikan banyak berkumpul di wilayah perairan yang mendekati Rig Minyak Tiaka. Sedangkan wilayah-wilayah perifer dari Rig Minyak Tiaka, ikan-ikan menghilang entah kemana. Ini kondisi dan pesoalan yang sangat mendasar yang dialami oleh para nelayan. Sesederhana itu pula pemecahan konflik Tiaka.
Pihak
Perusahaan tidak berusaha memecahkan sumber persoalan itu, justru
yang terjadi adalah pihak Perusahaan tetap memelihara konflik Tiaka dengan sejumlah operasi rahasia yang dilakukan
oleh orang-orang yang dibayar “diupah” oleh mereka.
Dalam wilayah AMDAL Tiaka, pihak
Perusahaan membiayai informan “mata-mata” yang dapat memberikan informasi
penting terkait gejolak atau potensi konflik yang terjadi di masyarakat. Pihak
Perusahaan menempatkan informan “mata-mata” ditiap desa untuk mengawasi
masyarakat yang berkonflik dengan Perusahaan.
Informan “mata-mata” tersebut di upah
layaknya karyawan yang bekerja aktif di Perusahaan. Hebatnya informan “mata-mata”
itu tidak perlu masuk kantor dan mengeluarkan keringat untuk memperolah upah
dari Perusahaan. Besaran upah yang informan “mata-mata” itu terima dapat
mencapai Rp 2.000.000 “dua juta rupiah”. Upah itu dibayarkan tiap bulan melalui
transfer rekening ke tiap orang yang diangkat oleh Perusahaan sebagai informan “mata-mata”
di tiap Desa.
Tanpa bekerja keras para informan “mata-mata”
tersebut memperoleh upah yang tergolong besar untuk ukuran masyarakat yang
tinggal di pedesaan. Sehingga mereka tidak segan-segan mengabdikan diri untuk
kepentingan Perusahaan. Dibeberapa Desa, informan “mata-mata” tersebut sering
menjadi provokator dan memicu perkelahian antar warga. Sepertinya mereka “para
informan” sengaja diciptakan untuk mengadu domba masyarakat diwilayah konflik.
Pihak JOB Pertamina-Medco pernah mengakui bahwa memang benar mereka membayar jasa informan "mata-mata" yang ditempatkan ditiap-tiap Desa yang berpotensi konflik. Jasa informan "mata-mata" tersebut dikelola oleh BRAVO 88. Seluruh aktivitas informan "mata-mata" yang ada ditiap-tiap desa berada dibawah kendali BRAVO 88.
Segala macam cara dapat mereka “para
informan” tempuh, dari cara menghasut warga hingga menggunakan kekerasan fisik
dapat mereka lakukan, demi memperoleh kepercayaan dari pihak Perusahaan. Jika
pihak Perusahaan memandang kerja-kerja para informan itu lebih banyak memberi
manfaat buat Perusahaan untuk meredam gejolak konflik dan perlawanan terhadap
mereka, maka para informan tersebut dapat menerima uang TIP dan bonus dari
pihak Perusahaan.
Cara-cara kerja informan “mata-mata” tersebut
sangat menguntungkan pihak Perusahaan. Mereka tidak perlu mengeluarkan banyak
sumber daya finansial untuk memenuhi tuntutan warga nelayan yang kehilangan
wilayah pemancingan. Hingga saat ini, setelah peristiwa tragedi Tiaka Berdarah,
anggaran untuk mendanai kerja-kerja informan “mata-mata” terus ditambah dan
diperluas cakupannya. Ibarat menerima lowongan pekerjaan, pihak Perusahaan
terus membuka rekrutmen informan “mata-mata” baru untuk mengawasi masyarakat
diwilayah konflik.
Sungguh ironi memang perjuangan warga
nelayan diwilayah AMDAL Tiaka. Sebagian besar masyarakat nelayan terus bertahan
menyuarakan tuntutan dan perlawanan. Tapi disisi yang lain, sebagian masyarakat
menuai keuntungan dari konflik yang terjadi. Mereka memang kaki tangan
Perusahaan, lebih tepatnya para penjilat-penjilat yang rakus dan tamak, para
individualis-individualis yang rela mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih
besar, demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Akhir kata, sebesar apapun kalian “para
Kapitalis” dan antek-antek yang kalian beri makan, untuk membungkam suara
perlawanan rakyat, itu tidak akan menyurutkan gerakan perlawan yang bergelora
akibat penindasan dan perampasan hak-hak. Suatu hari nanti yang pasti terjadi adalah gerakan perlawanan yang lebih
besar dan massif. Antek-antekmu tidak akan mampu membendung suara kebenaran dan
suara perlawanan rakyat yang tertindas. Tuhan tidak akan membiarkan rakyat yang
tertindas didzalimi dan dikalahkan oleh para penindas-penindas rakyat.
Kalian memang hebat..
Kalian memang superior..
Tapi Tuhan dan rakyat lebih
hebat dan superior..
Terus melawan.. Hingga
keadilan datang di rumah-rumah rakyat yang tertindas..
Post a Comment