MASYARAKAT ADAT BUNGKU UTARA DAN MAMOSALATO (SUKU TA’A-WANA) MENGGUGAT: Menolak Bergabung Bersama Morowali Utara Merupakan Hak Asasi
"Pilihan Pemekaran dipandang sebagai hak asasi setiap warga negara, sama
halnya dengan pilihan untuk Menolak Bergabung dalam pemekaran, karena hal itu merupakan
hak asasi setiap warga negara tanpa kecuali"
A.
Peta
Wilayah Morowali Utara, Morowali Induk, Dan Tanah Ta’a-Wana (Bungku Utara dan
Mamosalato)
Kami menolak “segala
upaya koersif” untuk memaksa penggabungan 2 kecamatan yang kami tinggali
kedalam daerah Morowali Utara yang
akan dimekarkan oleh Pemerintah Pusat “Presiden” dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR R1). Dua kecamatan yang menolak bergabung adalah Kecamatan Mamosalato dan Kecamatan Bungku
Utara.
Kami tidaklah sama dan tidak akan pernah mau
disamakan dengan masyarakat Morowali Utara, oleh karena itu kami menolak setiap
upaya homogenisasi. Kami masyarakat Bungku Utara dan Mamosalato memiliki entitas yang berbeda dengan masyarakat
di Morowali Utara. Kami memiliki “kultur”, “tradisi”, “adat istiadat”, “cara
pandang secara sosial”, “memiliki kedaulatan atas teritorial dan tradisi yang
kami miliki”, “memiliki kehendak bebas dan persamaan hak asasi”, “memiliki
kehidupan komunal yang harus dihargai dan tidak boleh di lecehkan”.
Prinsip hidup kami sangatlah berbeda dan tidaklah
boleh disamakan dengan masyarakat Morowali Utara. Orang-orang di Morowali Utara
dengan keinsafan yang pasti dan lahir dari nurani mereka, menyatakan sikap bahwa
pemekaran (pembentukan daerah otonom baru) adalah kebutuhan yang wajib di
penuhi oleh pemerintah pusat. Itulah
keyakinan mereka, itulah “belief”
mereka, itulah persepsi mereka, dan kami harus menghormati dan menghargai itu.
Seyogyanya, kami “masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato”, harus memperoleh
perlakuan yang sama dengan respek/ rasa hormat yang sama dari semua pihak yang
terkait dengan Pemekeran Morowali Utara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) beserta Pemerintah Pusat (Presiden). Rasa hormat tentang sikap dan
pendirian kami untuk menolak bergabung bersama-sama dengan Pemekaran Morowali
Utara.
Kami “masyarakat
adat Bungku Utara dan Mamosalato” berteriak, tetapi tidak pernah di
dengarkan. Semua elemen politik dan pemerintahan selalu dengan senang hati
melayani, setiap keinginan masyarakat Morowali Utara untuk memekarkan diri.
Tetapi yang terjadi pada kami, sungguh kontras 360 derajat, suara penolakan
untuk bergabung yang sering kami suarakan, tidak pernah tersambut dengan baik,
karena banyaknya kepentingan politis dan begitu ramainya hiruk pikuk
kepentingan politik yang saling menyandera kepentingan para penguasa eksekutif
dan legislatif daerah.
Memang kami merasakan, kepentingan politis sekelompok
elit yang hendak berkuasa, baik itu di legislatif maupun di eksekutif, akan dengan
senang hati membarter janji-janji manis politis mereka terhadap suara pemilih
masyarakat Morowali Utara yang jumlahnya sebanyak 79.126 jiwa. Sedangkan
populasi penduduk diwilayah Bungku Utara dan Mamosalato hanya berjumlah 24.968
jiwa atau hanya berjumlah 31,56% (persen) dari populasi masyarakat Morowali
Utara.
Kepentingan politis akan menghalalkan segala cara,
termasuk mengorbankan hak-hak sipil dan hak-hak masyarakat adat Bungku Utara
dan Mamosalato. Praktis para elit eksekutif dan legislatif daerah urung
mendengarkan suara kami, dan lebih memilih mengabulkan permintaan masyarakat
Morowali Utara tanpa syarat sedikitpun.
Adakah keadilan di negeri yang
bernama Indonesia ini??
Dimana keadilan itu??
Dimana para juris yang adil itu,
yang dapat mendengarkan aspirasi dan tekad kami yang seharusnya di dengarkan
secara adil dan diputuskan secara adil pula, tanpa memaksakan kehendak golongan
tertentu untuk menguasai golongan yang lain??
Kami
sudah tidak percaya lagi dengan eksekutif dan legislatif di daerah kami, karena
bagi mereka kepentingan adalah segala-galanya, kepentingan mereka untuk
berkuasa adalah raja yang harus ditaati oleh para elit penguasa daerah. Suara
79.126 jiwa penduduk Morowali Utara terlalu perkasa untuk menundukkan syahwat
berkuasa. Pada akhirnya kami “masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato” di
korbankan, dijadikan tumbal atas ambisi singgasana dan mahkota kekuasaan yang
hendak para elit perebutkan.
KAMI “MASYARAKAT ADAT BUNGKU UTARA
DAN MAMOSALATO” PADA AKHIRNYA HANYA MENJADI KORBAN
Kami
hanya mengingatkan, di Tahun politik ini, di Tahun 2013 ini, janganlah
mengorbankan 24.968 jiwa penduduk Bungku Utara dan Mamosalato, demi kepentingan
elit daerah, para politisi daerah, dengan menjadi bagian dari mereka yang
hendak memaksakan penggabungan 2 kecamatan kami kedalam pemekaran Morowali
Utara.
Selama
ini, suara kami diabaikan, seolah-olah aspirasi kami tidak pernah ada, bahkan menjadi
musuh politik bagi masyarakat Morowali Utara, hal itu sangat terasa dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang ada. Akhirnya yang terjadi adalah
perang dingin diantara komunitas masyarakat yang menolak bergabung dengan
masyarakat Morowali Utara yang memaksakan penggabungan 2 wilayah kami, sehingga
tidak jarang tindakan intimidasi struktural di lakukan oleh kelompok yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai masyarakat Morowali Utara.
Instabilitas politik
dan instabilitas sosial telah
terjadi begitu sangat lama, sejak usulan pemekaran Morowali Utara di inisiasi
sekitar Tahun 2005. Sejak Tahun itu, isu pemekaran Morowali Utara menjadi “Ghost”
atau “Hantu” yang mengusik kedamaian
dan ketentraman di bumi Morowali.
Sejak
saat itu pula, kondisi politik dan sosial di Morowali menjadi tidak stabil. Sehingga
sangat mengganggu stabilitas
pemerintahan dan jalannya fungsi pemerintahan. Selain itu, kondisi ini juga
menggangu stabilitas sosial, karena munculnya pro-kontra ditengah-tengah
masyarakat, akibat berhadap-hadapannya masyarakat yang menolak dan menyetujui
penggabungan daerahnya kedalam pemekaran Morowali Utara.
Pro
kontra atas penggabungan wilayah-wilayah yang diklaim secara sepihak oleh
masyarakat Morowali Utara akhirnya melahirkan perlawanan dari 2 (DUA) Kecamatan
yang menolak untuk menggabungkan diri bersama pemekaran yaitu Kecamatan Bungku
Utara dan Kecamatan Mamosalato. Dan pro kontra tersebut terus saja bergulir dan
memanas hingga saat ini (Tahun 2013).
Sejak
awal, kami “masyarakat adat Bungku Utara
dan Mamosalato” tidak pernah menyatakan sikap untuk bergabung bersama pemekaran Morowali Utara.
Dengan kata lain tidak pernah ada persetujuan secara kolektif untuk menyatakan
diri bergabung. Entah apa yang masyarakat Morowali Utara inginkan dari daerah
kami, mereka terus saja memaksakan penggabungan 2 kecamatan kami, dengan banyak
melakukan upaya manipulatif, termasuk memalsukan tanda tangan dukungan untuk
bergabung. Pemalsuan ini tidak hanya terjadi satu-dua kali saja, upaya-upaya
manipulatif tersebut telah lama mereka lakukan sejak tahun 2005 hingga tahun
2013 saat ini. Satu yang selalu pasti bahwa “aprrovement” dari
masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato tidak pernah diberikan secara sah
dan langsung terhadap penggabungan daerah kami kedalam pemekaran Morowali
Utara.
“KONSENSUS TERBUKA “REFERENDUM”
TIDAK PERNAH MAU DILAKUKAN OLEH TIM PEMEKARAN UNTUK MEMBUKTIKAN SECARA FAKTUAL
DUKUNGAN MASYARAKAT ADAT BUNGKU UTARA DAN MAMOSALATO”
“JUSTRU YANG SERING TERJADI, JIKA
DIADAKAN PERTEMUAN TERKAIT PEMEKARAN MOROWALI UTARA, BAHKAN SAMPAI PERTEMUAN
YANG DIHADIRI OLEH PERWAKILAN KOMISI 2 DPR RI, SELALU DI SELENGGARAKAN DI
WILAYAH KOLONODALE YANG NOTABENE ADALAH WILAYAH YANG FANATIS DENGAN PEMEKARAN
MOROWALI UTARA, DAN SEBAGAI BASIS KONSTITUEN MASYARAKAT MOROWALI UTARA”
“TIM PEMEKARAN ENGGAN DAN TIDAK MAU
MENGAMBIL RISIKO ATAS PENOLAKAN YANG AKAN TERJADI, JIKA PERTEMUAN ITU DILAKUKAN
DI BUNGKU UTARA DAN MAMOSALATO”
“INI JELAS-JELAS MERUPAKAN TIPU
MUSLIHAT YANG DENGAN TERANG BENDERANG DAPAT TERLIHAT SEBAGAI UPAYA UNTUK
MENUTUPI ADANYA PERGOLAKAN DAN PENOLAKAN ATAS PENGGABUNGAN 2 KECAMATAN (BUNGKU
UTARA DAN MAMOSALATO) DALAM PEMEKARAN MOROWALI UTARA”
Kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah Pusat
(Presiden), bukalah mata anda, bukalah telinga anda, bahwa entitas masyarakat
adat Bungku Utara dan Mamosalato datang ke Ibukota Negara ini untuk memperoleh
keadilan dan persamaan hak yang harus diakui diantara semua warga negara yang
bermukim di bumi Indonesia ini.
Bahkan
kami dari masyarakat adat bungku utara dan mamosalato pernah menantang
pihak-pihak yang berusaha memaksakan penggabungan dua kecamatan kami, dengan
melakukan konsensus terbuka
“referendum”, dengan prinsip “transparansi”
dan “akuntabilitas”. Namun Tim
Pemekaran tidak pernah mau melakukannya. Hal ini sekali lagi mempertegas, bahwa
upaya-upaya yang mereka lakukan untuk memasukkan dua kecamatan yang kami
tempati adalah upaya-upaya “inkostitusional”
dan tergolong tindakan yang bertentangan dengan prinsip “demokrasi pancasila” yang kita anut.
Bukankah di negeri yang bernama
Indonesia ini, tidak diperbolehkan adanya upaya pemaksaan kehendak dari satu
entitas/ golongan tertentu terhadap golongan yang lain??
Jika hal itu memang tidak
diperbolehkan, mengapa selalu saja ada upaya pemaksaan terhadap masyarakat adat
Bungku Utara dan Mamosalato untuk menggabungkan diri bersama Morowali Utara??
Dengan
urung atau tidak mau melakukan konsensus
terbuka “referendum”, tentu saja dengan alasan yang hanya diketahui oleh
Tim Pemekaran. Justru mereka lebih
memilih melakukan cara-cara kotor dengan memanipulasi dukungan dari 2
(kecamatan) kami, sehingga seolah-olah menyatakan bergabung bersama morowali
utara.
Dari
sekian banyak upaya-upaya manipulatif tersebut, salah satunya seperti yang dilakukan oleh oknum ketua DPRD Morowali, H. Abudin
Halilu baru-baru ini, dengan memprakarsai diadakannya pertemuan
yang sudah “di setting” dan “dikondisikan” untuk dukungan terhadap penggabungan
2 (dua) kecamatan ini dalam pemekaran Morowali Utara.
Orang-orang
yang hadir adalah sebagian kecil dari penduduk Bungku Utara dan Mamosalato yang
tidak mencapai 0,2% dari populasi yang berjumlah 24.968 (dua puluh empat ribu,
sembilan ratus enam puluh delapan). Mereka yang hadir adalah segelintir orang
yang mau bergabung dan di mobilisasi oleh kekuatan legislatif daerah yang
menunjukkan keberpihakan terhadap kepentingan golongan dan kelompok tertentu,
dan mengabaikan hak-hak serta aspirasi masyarakat yang nota bene pemilik dari
lembaga negara tersebut.
Bagi-bagi
uang untuk peserta yang diundang dan dikondisikan oleh oknum ketua DPRD Morowali
merupakan tindakan yang memalukan dan mencederai rasa keadilan dan hak-hak
masyarakat adat bungku utara dan mamosalato. Karena sejatinya, kebebasan untuk
memilih merupakan hak asasi yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi negara
ini.
Yang menjadi fundamental pertanyaan
mengapa oknum ketua DPRD Morowali, H. Abudin Halilu dengan tega merekayasa
dukungan penggabungan 2 (dua) kecamatan ini, dan tindakan
ini dengan tegas melukai perasaan masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato.
Tanpa berbasa-basi, tentu kami memahami perasaan
kebatinan “psikologi” dari oknum ketua DPRD Morowali tersebut, dengan rela
hati melayani suksesi penggabungan 2 (dua) kecamatan ini, karena tergiur oleh
dukungan politik masyarakat Morowali Utara. Sekedar diketahui oleh publik,
bahwa sebagian besar wilayah Morowali Utara adalah wilayah yang menjadi basis
pemilihnya dalam kontestasi menuju kursi legislatif Daerah. Sehingga kami tidak
merasa keheranan dengan sikap politik oknum Ketua DPRD Morowali tersebut.
Sekali
lagi, kami pertegas, bahwa perbuatan yang busuk, illegal, dan melawan kehendak masyarakat adat, untuk merekayasa
dukungan penggabungan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tidak syah, oleh
karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi pancasila yang kita
junjung tinggi.
Orang-orang morowali utara selalu berkata
dengan nada ancaman, bahwa pemekaran adalah harga mati bagi mereka.
Dan
dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) kami bersaksi dan
bersumpah atas nama Tuhan dan leluhur kami, bahwa kami tidak akan segan-segan
untuk menumpahkan darah, demi kehormatan dan harga diri adat serta warisan
budaya nenek moyang kami.
Tanah
Bungku Utara dan Mamosalato adalah tanah TA’A-WANA, yang sejak dahulu kala
terus dilestarikan dan dipelihara oleh masyarakat adat. Dan tanah ini selalu
terbuka dengan bukti hadirnya kehidupan yang harmonis diantara suku bangsa yang
beragam, mereka dapat hidup, tinggal, mencari nafkah tanpa adanya friksi sosial
dan budaya. Sejatinya tanah TA’A WANA adalah tanah yang terbuka bagi siapa
saja.
Bagi kami justru proses demokrasi
yang transparan dan bebas dari manipulasi-lah yang seharusnya adalah harga mati.
Jika
pemaksaan itu tetap dilakukan, maka tidak ada jalan lain selain kami harus
mengangkat senjata, membela harga diri, martabat, adat, leluhur/ nenek moyang
kami.
Jangan ganggu kami, maka kami tidak
akan menggangu kehidupan kalian..
Jangan paksa kami, karena kami
tidak akan memaksakan kehendak kami terhadap kalian..
Jangan rampas hak-hak asasi kami,
karena kamipun tidak pernah berniat untuk merampas hak-hak asasi kalian..
Jika
kami “masyarakat adat Bungku Utara dan
Mamosalato” terus dipaksa mengikuti kehendak kalian, itu berarti kami telah
kehilangan kebebasan “right of freedom”
untuk menentukan nasib kami sendiri. Kami adalah “indigenous peoples” atau masyarakat adat sebagai entitas yang
diakui oleh sistem hukum nasional dan mendapat pengakuan yang cukup luas dari
sistem hukum internasional. Kami juga disebut sebagai “native peoples” karena kami terdiri dari sekumpulan orang yang
hidup dan mendiami suatu wilayah serta memiliki kearifan lokal berdasarkan
wilayah yang kami diami tersebut.
Upaya
manipulatif oknum Ketua DPRD Kabupaten Morowali telah melanggar pasal 5 ayat 3
(PP 78 2007), yang menegaskan adanya persetujuan dari masyarakat setempat
terkait penggabungan suatu wilayah kedalam pemekaran.
Justru
yang terjadi adalah upaya paksa secara sepihak oleh oknum ketua DPRD untuk
menggabungkan 2 kecamatan yaitu Bungku Utara dan Mamosalato ke dalam wilayah pemekaran morowali
utara.
Tujuan
yang sering di dengungkan oleh masyarakat Morowali Utara, bahwa pemekaran
daerah bertujuan untuk mempercepat pembangunan di kawasan daerah mereka dan
alasan praktis lainnya seperti untuk memperpendek jarak pemerintahan.
Kami
masyarakat adat mamosalato dan bungku utara menghormati dan menghargai
alasan-alasan itu. itulah rasionalisasi atas tekad masyarakat Morowali Utara
untuk membentuk daerah otonom sendiri.
Tapi
bagi kami, visi itu tampak kontras dan berbeda, sehingga kami tidak sejalan
dengan “dream/ hope” masyarakat
Morowali Utara tersebut. Secara prinsip, kami tidak mau bergabung dengan masyarakat
Morowali Utara, karena fundamental visi yang berbeda.
Jadi
janganlah paksa kami untuk memilih sikap yang memang tidak lahir dari prinsip
dan cita-cita kami. Sangatlah tidak demokratis jika cara-cara pemaksaan/ koersif
tetap dilakukan untuk menundukkan idealisme prinsip yang kami anut, dan
melakukan homogenisasi demi yang katanya mencapai tujuan demokratis dalam
penyelenggaran otonomi daerah. Bukankah kita telah lama mengakui adanya kebinekaan “heterogen” dalam masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dan hal itu menjadi fundamental di bangunnya negara
Indonesia sejak awal proklamasi kemerdekaan yang di proklamirkan oleh “The
founding fathers”.
Meminjam
kata dalam judul lagu Michael Jackson “This is it”, inilah saatnya Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beserta Pemerintah Pusat (Presiden) untuk
mendengarkan suara rakyat dan tidak mentransaksikan kepentingan golongan tertentu
untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan demokrasi dan rasa keadilan
rakyat.
Kami
mendukung pemekaran Morowali Utara, tetapi masyarakat Bungku Utara dan
Mamosalato menolak untuk bergabung ke dalam wilayah Morowali Utara.
Ini cukup
jelas dan tidak terdapat tafsir lain atau maksud tersembunyi yang perlu
diperdebatkan. Kami menghormati dan
menghargai niatan baik masyarakat Morowali Utara untuk membentuk daerah otonom
sendiri. Tapi hormatilah keputusan kami untuk menolak bergabung. Jalan
keluar yang tebaik dan bijak adalah dengan mendepankan “win-win solution”, yang
artinya baik bagi masyarakat Morowali
Utara, dan baik pulalah bagi masyarakat Bungku Utara dan Mamosalato. Kami
rasa, itulah yang seharusnya dibangun demi tercapainya kehidupan demokrasi yang
adil bagi semua golongan.
Jika
“win-win
solution” yang akhirnya terjadi, maka pemekeran morowali utara adalah
wujud kemenangan rakyat. Dan bukanlah kemenangan dari pelanggaran hak-hak
asasi, serta bukanlah pula kemenangan tiranisme, semoga hal itulah yang
terjadi.
D. Pernyataan
Sikap
Berdasarkan
uraian panjang diatas, berikut kami tampilkan pernyataan sikap kami sebagai
masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato yang didasarkan pada pilihan
merdeka, bebas dari paksaan, dan dapat dipertanggung-jawabkan:
- Tidak pernah ada konsensus terkait penggabungan 2 kecamatan yang kami tempati yang menyatakan diri bergabung dengan Morowali Utara, kami dari masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato pernah menantang Tim Pemekaran untuk mengadakan konsensus terbuka “referendum” untuk membuktikan secara demokratis keinginan mayoritas masyarakat adat, namun hal itu tidak pernah berani mereka lakukan. Karena mereka sadar, bahwa masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato tetap konsisten dalam garis perjuangan untuk tetap menolak bergabung dengan Morowali Utara.
- Selama ini yang terjadi justru upaya-upaya koersif untuk memaksa kami bergabung dengan Morowali Utara, tidak jarang langkah-langkah politik pemerintah lebih pro terhadap semua keinginan serakah Morowali Utara, tanpa sedikitpun peduli dengan aspirasi dan sikap masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato yang sejatinya menolak bergabung
- Upaya-upaya manipulatif dari oknum ketua DPRD Morowali, atas nama H. Abudin Halilu yang mengadakan pertemuan dengan alibi dan ambisi untuk mengelabui masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato, dengan persetujuan sepihak dari ketua DPRD untuk memaksa penggabungan 2 kecamatan yang kami tempati ke dalam wilayah pemekeran Morowali Utara. Menurut pengakuan peserta yang hadir, mereka diberikan sejumlah uang agar bersedia hadir dan menandatangani daftar hadir (baca: buku tamu), yang kemudian dijadikan alat untuk memeberikan dukungan terhadap penggabungan 2 kecamatan ini dalam pemekaran Morowali Utara.
- Kami masyarakat adat Bungku Utara dan Mamosalato menyatakan sikap dengan keinsafan yang pasti, dengan penuh keyakinan tanpa keraguan, dengan doa dan dukungan nenek moyang/ leluhur kami bahwa “KAMI MASYARAKAT ADAT BUNGKU UTARA & MAMOSALATO MENOLAK BERGABUNG DENGAN MOROWALI UTARA”
- Penolakan kami untuk bergabung, bukan berarti kami menolak pemekaran Morowali Utara, kami percaya bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di senayan ini beserta Pemerintah Pusat (Presiden) bisa lebih arif dan proporsional menilai sikap dan keputusan kami yang merdeka dan independen ini. “KAMI MENDORONG UNTUK SEGERA DILAKUKAN PERCEPATAN PEMEKARAN MOROWALI UTARA TANPA BERGABUNGNYA BUNGKU UTARA DAN MAMOSALATO” karena kami ingin segera membangun daerah dan terus fokus pada pembangunan yang selama ini terganggu dengan “instabilitas politik” dan “instabilitas sosial” akibat pemekaran Morowali Utara.
Sekali lagi kami masyarakat Adat Bungku Utara dan Mamosalato mengingatkan kepada Masyarakat Morowali Utara untuk tidak turut campur dalam urusan regional kami, karena kami tidak akan mencampuri urusan Pemekaran kalian.
Jika kalian memaksa, pertumpahan darah tidak akan terelakkan..
Kami masyarakat adat Ta'a-Wana bersumpah akan mempertahankan harkat dan martabat tanah leluhur kami, hingga tetes darah penghabisan..
Post a Comment