NOTA EKSEPSI TERDAKWA ANDRI MUHAMAD SONDENG DI PENGADILAN NEGERI PALU, KAMIS-12-1-2012, TRAGEDI TIAKA BERDARAH
MENCARI KEADILAN DIMONCONG SENJATA APARAT
Andri Muhamad Sondeng
(Korban Kriminalisasi Tragedi TIAKA Berdarah, Kab. Morowali, Sulawesi Tengah)
Majelis Hakim yang mulia..
Hidup rakyat, hidup mahasiswa, hidup perlawanan rakyat dan mahasiswa.
Saya dan ribuan warga nelayan di Kecamatan Bungku Utara dan Mamosalato, Kabupaten Morowali adalah rakyat Indonesia yang memiliki hak yang sama didepan hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali sedikitpun. Asas hukum “Equality Before The Law” harus menjadi cerminan praktek hukum di Negara Indonesia tercinta. Hingga hari ini Polisi pelaku penembakan tidak pernah diproses dihadapan Persidangan yang terbuka untuk umum. Hingga hari ini pula Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi tidak pernah dihadapkan di depan persidangan terkait “Corporat Crime atau Kejahatan Perusahaan”. Sederet persoalan penting seperti AMDAL yang dipalsukan sehingga mendasari penimbunan terumbu karang seluas 4 hektar area diwilayah TIAKA. Juga persoalan “Corruption atau Korupsi” terhadap dana Community Development (CD) atau dana Corporat Social Responsibility (CSR) sejak lifting minyak TIAKA ditahun 2003 hingga tahun 2011.
Kami mencari penyelesaian masalah atas hilangnya mata pencaharian warga nelayan akibat beroperasinya lapangan minyak TIAKA “TIAKA Field” di Kabupaten Morowali dengan aksi demonstrasi yang telah berlangsung sejak tahun 2005. Namun tuntutan warga nelayan untuk diberi program pemberdayaan tidak pernah terlaksana hingga sekarang.
Tercatat pula ditahun 2007 warga nelayan kembali melakukan aksi demonstrasi dan mencapai beberapa kesepakatan. Kesepakatan antara pihak Job Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi mencakup program-program kesejahteraan “Corporat Social Responsibility/ CSR” di wilayah AMDAL TIAKA, yang meliputi 2 Kecamatan yaitu Bungku Utara dan Mamosalato, salah satunya di Desa Kolo Bawah.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun warga nelayan menunggu realisasi program-program tersebut, tapi yang terjadi justru pihak perusahaan tidak pernah merealisasikan kesepakatan tersebut.
Respon dari masyarakat atas serangkaian Wanprestasi-Wanprestasi terhadap Draft kesepakatan tersebut dilakukan dengan mengadakan pertemuan kembali dengan Pemerintah Daerah di tahun 2009 dan demonstrasi lagi di tahun 2010. Namun hingga tahun 2011, komitmen perusahaan terhadap implementasi kesepakatan tersebut tidak pernah terlaksana. Sebagai akibatnya, timbul “distrust atau tidak percaya” dan “mistrust atau kurang percaya” terhadap Perusahaan. Masyarakat dalam hal ini “warga nelayan” sudah apatis dan resisten terhadap pertemuan-pertemuan dengan pihak Perusahaan. Yang justru lahir dimasyarakat adalah rasa amarah sebagai respon kekecewaan yang mendalam terhadap janji-janji palsu pihak Perusahaan.
Tragedi berdarah TIAKA merupakan akumulasi kekecewaan dan amarah warga nelayan atas sikap Perusahaan yang cenderung mengabaikan perihnya penderitaan warga nelayan yang terpaksa harus hidup dengan kemiskinan.
Sejak beroperasinya TIAKA, kehidupan warga nelayan mengalami banyak degradasi, diantaranya berupa masalah kemiskinan. Warga nelayan dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan disekitar wilayah “Drilling atau Pengeboran” minyak TIAKA. Meskipun hanya sekedar mengais rejeki disekitar timbunan terumbu karang. Tidak sedikit warga nelayan yang diancam dengan letusan senjata, dipukuli, dan diusir dari wilayah itu. Padahal warga hanya berusaha untuk melanjutkan hidup dan bertahan hidup dengan mengais rejeki dari kegiatan penangkapan ikan. Warga dimusuhi bahkan dianggap sebagai ancaman keamanan bagi kegiatan “Drilling atau Pengeboran” minyak diwilayah tersebut.
Jauh hari sebelum TIAKA beroperasi, kehidupan nelayan di wilayah kami hidup makmur dengan melimpahnya tangkapan ikan dan hasil laut lainnya seperti teripang, gurita dan udang Lobster. Rata-rata produksi ikan disetiap penampungan ikan bisa mencapai 9 Ton Ikan perminggu. Berarti bisa mencapai 36 Ton perbulan atau 432 Ton pertahun. Dengan rata-rata harga ikan campuran perton sebesar 20.000 Rupiah, maka rata-rata pendapatan ikan pertahun sebanyak 8.640.000.000 Rupiah (8,64 Miliar). Itu merupakan rata-rata pendapatan untuk setiap penampungan ikan pertahunnya. Coba kita hitung, berapa jumlah penampungan ikan di wilayah kami yang terpaksa harus tutup akibat beroperasinya “Drilling atau Pengeboran” minyak di TIAKA. Belum lagi dampaknya terhadap ribuan warga nelayan yang harus terpaksa tidak dapat mencari ikan diwilayah ini dan kehilangan pendapatan dari aktivitas pemancingan ikan. Dengan kata lain warga nelayan menjadi miskin setelah TIAKA beroperasi.
Kerugian yang disebutkan oleh JOB Pertamina-Medco sebesar 4 Miliar Rupiah dari aksi unjuk rasa warga nelayan dan mahasiswa tetap tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang diderita oleh tiap penampungan ikan dengan jumlah 8.640.000.000 Rupiah (8,64 Miliar) pertahun. TIAKA beroperasi diwilayah kami sejak tahun 2003 hingga tahun 2012 saat ini, dan akan terus beroperasi hingga kontrak mereka berakhir hingga tahun 2027. Hal ini berarti bahwa sampai tahun 2012 saja (kurun waktu 10 tahun), total kerugian untuk disetiap penampungan ikan mencapai 86.400.000.000 Rupiah (86,4 Miliar). Bagaimana dengan kerugian yang diderita warga nelayan hingga tahun 2027 kelak? dengan asumsi perhitungan yang sama, maka total kerugian yang diderita oleh setiap penampungan ikan nelayan tradisional sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2027 bisa mencapai 216.000.000.000 Rupiah (216 Miliar).
Pihak Medco E&P Tomori Sulawesi (persero) selaku anak perusahaan dari Medco Energi Internasional (persero) datang kewilayah kami untuk tujuan berbisnis minyak, tetapi turut menghancurkan bisnis ribuan warga nelayan tradisional. Pebisnis dengan modal besar “Giant Capital” menghancurkan bisnis-bisnis kecil warga nelayan tradisional. Hubungan yang terjadi antara Perusahaan dan warga nelayan adalah serupa dengan “Simbiosis Parasitisme”. Yang kuat akan selalu menghancurkan yang lemah.
Seandainya pihak Perusahaan melakukan kegiatan “Drilling atau Pengeboran” minyak dengan cara “Onshore atau Pengeboran di darat” maka tidak akan mengganggu kegiatan pemancingan warga nelayan. Seandainya pihak perusahaan tidak melakukan penimbunan terumbu karang yang merupakan rumah tempat ikan bertelur, hal tersebut tidak akan mengganggu kegiatan pemancingan warga nelayan. Kegiatan Perusahaan semata-mata hanya mengejar kepentingan “Lifting Minyak” tetapi mengabaikan daya dukung lingkungan hidup dan keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat sekitar. Masuknya investasi ke daerah kami hanya untuk kepentingan mengejar “Economic Development atau Pertumbuhan Ekonomi” tetapi tidak pernah menyentuh kepentingan “Social Development atau Pengembangan Masyarakat”, tidak pernah menyentuh kepentingan “Environment Development atau Pengembangan Lingkungan” dan pada akhirnya tidak pernah menyentuh kepentingan “Social Welfare atau Kesejahteraan Rakyat”, yakni kesejahteraan rakyat Morowali.
Apa yang kami rasakan, warga nelayan pula rasakan saat ini, dimana seorang Bapak tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya, tidak bisa membeli sepatu dan baju seragam untuk sekolah anak-anaknya, tidak bisa membelikan susu formula untuk balita mereka, keluarga-keluarga nelayan tinggal memakan ubi dan sagu sebagai panganan mereka, anak-anak nelayan tidak bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, jalan-jalan antar kampung dibiarkan beralaskan tanah liat, kampung-kampung nelayan dibiarkan gelap tanpa listrik.
Dimanakah keadilan di Negara ini yang seharusnya melindungi rakyat yang lemah.
Majelis Hakim yang mulia..
Hidup Rakyat, Hidup Mahasiswa, Hidup Perlawanan Rakyat dan Mahasiswa
Kami ditembaki diatas perahu-perahu kami oleh aparat Kepolisian. Korban penembakan pertama adalah saya. Saya tertembak di daerah dada sebelah kanan, tepatnya dibawah leher sebelah kanan dan tulang lengan saya hancur serta lengan saya ikut terputus. Saat tembakan pertama deretan rentetan peluru menggaris perahu saya dan saya nyaris tertembak. Lalu saya bergegas menunduk serendah mungkin diatas perahu, namun pada tembakan berikutnya, saya tertembak dengan badan terlempar dari atas perahu yang saya tumpangi, separuh badan saya terjatuh ke air, saya sempat melihat lengan kanan saya sudah terputus, bergelantungan tidak karuan, lengan kiri saya masih sempat menggenggam pinggiran perahu sehingga saya tidak tercebur jatuh kelaut. Melihat saya tertembak, warga lalu histeris dan segera mengangkat tubuh saya yang sudah tidak berdaya lagi, dan memapahnya ke bagian tengah perahu. Darah mengalir cukup deras dari lubang yang terbentuk di dada saya, warga segera bergegas mengevakuasi saya ke kampung untuk memperoleh pertolongan pertama. Terdapat selang waktu 1 jam 30 menit bagi perahu yang saya tumpangi untuk bisa mencapai kampong yakni desa Kolo Bawah. Sesampainya dikampung beberapa perawat mencoba untuk memasang cairan infus tapi sama sekali tidak menemukan pembuluh darah, kata mereka pembuluh darah saya sudah “kolaps atau mengempis”. Pada akhirnya saya dievakuasi ke Puskesmas Kecamatan untuk segera memperoleh pertolongan segera dipasangkan cairan infus, yang pada akhirnya menemukan satu-satunya pembuluh darah saya yang belum kolaps untuk dipasangi infus. Dengan bekal cairan infus, saya kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Luwuk Banggai, dengan jarak tempuh 4 jam perjalanan. Di sepanjang perjalanan, cairan darah saya terus keluar, hingga membuat kondisi saya semakin melemah. Yang saya yakini dengan berkah kasih sayang Allah SWT, saya akhirnya tiba di RSUD Luwuk Banggai, namun kondisi saya semakin kritis, saya merasakan seluruh kaki saya terasa dingin, sempat diruangan Unit Gawat Darurat (UGD) petugas paramedis kesulitan menemukan sampel darah saya, untuk kepentingan Transfusi Darah. Seluruh badan saya ditusuk-tusuk jarum untuk mencari pembuluh darah yang bisa diambil sampel darahnya. Selang beberapa menit, tidak satupun sampel darah bisa ditemukan. Para petugas Paramedis menyebut-nyebut pembuluh darah saya sudah kolaps, sehingga tidak bisa lagi mengambil sampel darah. Namun sekali lagi, pertolongan Allah SWT datang, dimana salah seorang petugas Paramedis berhasil mengambil sampel darah saya dan pada akhirnya saya berhasil untuk ditransfusi.
Pada keesokan harinya yakni Selasa, 23 Agustus 2011, tepatnya pukul 09.00 dipagi hari sejumlah aparat Brimob berpakaian lengkap dengan rompi anti peluru beserta senjata lengkap yang jumlahnya cukup banyak, berkerumun memasuki ruangan tempat saya dirawat sementara “Ruangan ICU”. Seorang dari mereka membawa surat penangkapan dan penahanan atas diri saya yang mengaku dari Polres Banggai berkoordinasi dengan Polres Morowali dan atas perintah dari Polda Sulteng. Jumlah aparat Kepolisian yang cukup banyak tersebut membuat banyak pasien diruangan ICU ketakutan, bahkan ada seorang pasien yang dirawat diruangan ICU meninggal dunia pada waktu setempat. Saya terus menolak penangkapan dan penahanan atas diri saya, dengan alasan menyelamatkan nyawa saya terlebih dahulu. Pada saat itu kondisi saya terus menurun,dengan gejala demam pada seluruh tubuh saya. Terdapat waktu 7 jam bagi saya terus bertahan untuk tidak ditangkap dan tidak ditahan dengan alasan kemanusiaan. Namun pihak kepolisian terus memaksa melakukan penangkapan dan penahanan atas diri saya, mereka hendak membawa saya ke Polda Palu dengan menggunakan mobil Ambulans. Padahal kondisi saya pada saat itu tidak bisa menjalani perjalanan yang jauh dan melelahkan, sebab pendarahan didalam tubuh yang terkena tembakan masih sangat rawan. Menggerakkan badan saja pada saat itupun tidak bisa. Pada akhirnya melalui kuasa hukum saya pada saat itu, saya meminta untuk segera diatur jadwal keberangkatan saya keesokan harinya ke Makassar untuk menjalani serangkaian operasi darurat dan meminta kepada kepolisian untuk tidak melakukan penangkapan pada hari itu.
Pada hari Rabu, 24 Agustus 2011, saya berhasil diterbangkan ke Makassar itupun dalam kondisi yang semakin melemah. Tepatnya dua hari selang waktu untuk saya bisa dievakuasi pasca penembakan. Yang sempat tertunda karena rencana penangkapan pada hari Selasa, 23 Agustus 2011. Padahal menurut diagnosis dokter, saya sangat membutuhkan tindakan penyelamatan nyawa segera. Sesampainya di Makassar, saya segera di evakuasi ke Rumah Sakit Stella Maris untuk memperoleh perawatan medis. Namun setelah memperoleh pemeriksaan Tim Dokter Bedah, menganjurkan agar tindakan operasi dilakukan dengan mengangkat sebagian tulang lengan saya yang telah hancur, lalu memendekkan lengan saya. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kanker tulang dikemudian hari, sebagai “Side Effect atau Efek Samping” jika tulang yang hancur tidak dikeluarkan. Tetapi saya menolak intervensi medis seperti itu, dan saya meminta untuk segera dirujuk ke RS. Wahidin Sudiro Husodo. Pada hari Kamis, 25 Agustus 2011, saya jadi dirujuk ke RS. Wahidin dan diterima di Ruang Unit Gawat Darurat (UGD) untuk menjalani serangkaian pemeriksaan Tim Dokter. Permintaan saya untuk tetap dioperasi tanpa memendekkan lengan saya, disetujui oleh Tim Dokter Bedah. Saya lalu dioperasi keesokan harinya oleh Tim Dokter Bedah yang ditunjuk yang dipimpin oleh Prof. Ruksan. Operasi tersebut berlangsung dari jam 10.00 pagi sampai jam 05.00 sore. Tim dokter mengatakan bahwa sebagian Tulang lengan saya hancur, persendian lengan saya putus, persarafan di sekitar dada sebelah kanan sampai lengan kanan banyak yang hancur. Sebagian saraf itu tidak bisa disambung, sebagian lainnya disambung melalui saraf yang ada dipunggung. Tim dokter mengatakan kemungkinan harapan kesembuhan 100% tidak bisa, kemungkinan besar saya akan mengalami kecatatan sangat mungkin terjadi.
Setelah pasca operasi, 15 hari lamanya saya mengerang kesakitan yang sangat dahsyat. Obat anti nyeri hanya sekedar mengurangi intensitas nyeri sekitar 1-2 jam saja. Selebihnya saya terus menjalani hari-hari dengan rasa sakit yang sangat dahsyat. Terkadang saya putus asa merasakan rasa sakit disepanjang hari, namun orang tua saya terus berusaha menenangkan saya dengan membaca ayat-ayat suci al-qur’an. Terkadang saya terbangun dengan mimpi buruk ditembaki oleh aparat Brimob. Kondisi kejiwaan saya saat itu juga mengalami traumatik. Pada saat idul fitri, keluarga-keluarga umat islam menjalani hari raya dengan penuh suka cita, sedangkan saya menjalani lebaran dengan rasa sakit sepanjang hari. Saya berusaha tetap tersenyum, dan memohon maaf kepada Bapak, ibu, dan adikku tersayang di hari kemenangan umat muslim itu.
Belum lama berselang, luka operasi masih terasa sangat sakit, tiba-tiba dipagi hari sekumpulan orang berpakaian sipil datang keruangan saya, dan mengaku sebagai Anggota Kepolisian Polda Sulteng. Saya dan keluarga sempat terkejut dengan kedatangan mereka di ruang perawatan. Belum hilang rasa nyeri pasca operasi, pihak kepolisian sudah berniat menangkap dan menahan saya lagi. Aparat kepolisian begitu sangat bernafsu untuk menangkap saya meskipun masih dalam kondisi sakit. Kami dari pihak keluarga merasa keberatan terhadap kedatangan kepolisian tersebut keruang perawatan. Hal itu juga kami sampaikan kepihak Rumah Sakit. Padahal saya masih dalam kondisi belum stabil pasca operasi besar. Dimana hati nurani mereka yang tidak memberikan saya helaan nafas sejenak untuk focus dulu terhadap proses penyembuhan saya. Setelah kejadian itu, beruntun perilaku tidak menyenangkan dari Perawat Rumah Sakit RSU Wahidin yang terus menyuruh saya keluar dari Ruang Perawatan. Kata mereka, biaya Rumah Sakit akan terus bertambah jika saya terus dirawat disini. Keluarga saya bahkan sering menjawab meskipun kami bukan dari kalangan orang-orang kaya, tapi untuk membayar biaya Rumah Sakit, kami masih cukup mampu. Perlakuan yang tidak menyenangkan itu terus saja terjadi. Pada akhirnya saya dan keluarga memutuskan untuk pulang ke Palu, dalam rangka melanjutkan perawatan di salah satu Rumah Sakit di kota Palu. Sebelumnya, saya telah mengirim surat ke Polda Sulteng agar diijinkan untuk sementara berobat dulu, menunggu kesehatan saya pulih dan siap untuk menjalani proses penyidikan. Dan permintaan itu disetujui oleh Polda Sulteng. Atas dasar itu, saya dan keluarga lalu berangkat ke Palu menggunakan transportasi Pesawat Udara. Namun sesampainya saya di Bandara Mutiara Palu, ada puluhan aparat kepolisian menjemput saya bak seorang gembong teroris. Fisik saya yang melemah pasca perjalanan dari Makassar ke Palu, tidak mengurungkan niat polisi Polda Sulteng untuk membawa saya ke Rutan Polda Sulteng. Sempat disaat mobil Pemuda Pancasila yang saya tumpangi mulai bergerak berjalan, ada seorang anggota kepolisian Polda Sulteng mengeluarkan letusan tembakan ke udara. Dan membuat suasana dibandara sempat riuh. Dipembicaraan telpon terdengar seorang anggota polisi menyebut-nyebut agar saya dibawa ke Rutan Polda, katanya ini perintah atasan. Namun pihak keluarga dan saya menolak menuruti permintaan mereka. Saya tetap meminta untuk dirawat di Rumah Sakit. Permintaan keluarga agar saya tetap dirawat di Rumah Sakit Swasta, dengan pertimbangan agar saya bisa focus dulu untuk pemulihan kondisi fisik saya. Ternyata permintaan itu tidak dikabulkan oleh Polda Sulteng. Mereka lalu membawa saya ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulteng. Sesampainya di Rumah Sakit Bhayangkara saya belum dimasukkan kedalam ruangan perawatan, malahan dibiarkan selama 8 (delapan) jam terbaring di dalam mobil. Saya kelaparan, saya kehausan, saya kelelahan, saya kesakitan, badan saya terasa sangat lemah, bahkan seluruh badan saya terasa sakit. Barusan dimalam hari, saya ditempatkan di Ruang Perawatan Rumah Sakit Bhayangkara. Sesampainya diruangan perawatan, saya lalu menyempatkan diri untuk makan dan minum obat, serta istirahat tidur.
Keesokan harinya, belum lepas rasa lelah dan kondisi fisik saya yang terasa begitu lemah, saya langsung diminta untuk menandatangani surat penangkapan dan penahanan, serta permintaan mereka untuk segera menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Melalui kuasa hukum yang saya tunjuk, saya meminta untuk menjalani pembantaran, itupun masih melalui perdebatan yang cukup alot. Pihak penyidik polda sulteng terus saja memaksa saya untuk di BAP. Pada akhirnya saya tetap di BAP, meskipun saya mengatakan bahwa saya masih sakit fisik dan rohani, serta tidak siap menjalani BAP. Saya merasa BAP tersebut sangat dipaksakan terhadap diri saya. Di Rumah Sakit Bhayangkara, saya meminta untuk menjalani pemeriksaan oleh Psikiater dan hasilnya menunjukkan terdapat gangguan psikologis terhadap diri saya pasca penembakan di Pulau Tiaka oleh Aparat Kepolisian.
Hingga saya menjalani proses penyidikan dan ditahan di Rutan Polda Sulteng, lengan dan bahu kanan saya masih belum pulih. Namun saya tetap menunjukkan sikap kooperatif untuk bersedia di periksa hingga 7 jam sehari saat pemeriksaan berlangsung, meskipun kondisi kesehatan saya terkadang menurun pasca pemeriksaan.
Majelis Hakim yang mulia..
Hidup Rakyat, Hidup Mahasiswa, Hidup Perlawanan Rakyat dan Mahasiswa
Penembakan kedua terjadi ditengah laut, mengakibatkan seorang mahasiswa bernama Yurifin tewas akibat luka tembak yang mengoyak lengannya, pada akhirnya kehabisan darah akibat penyiksaan dari aparat pasca tertembak dengan menginjak-injak luka tembak yang dideritanya, serta tidak diberi air minum saat almarhum kehausan, tidak diberi pertolongan cairan oleh Aparat Kepolisian padahal ikut serta Dokter Perusahaan bersama Almarhum. Selain itu, seorang warga nelayan bernama Marten Datu Adam juga turut tewas, dengan luka tembak dikepala, beberapa luka tembak dibadan dan paha sebelah kiri. Total tembakan masuk kebadannya berjumlah 5 buah tembakan. Almarhum tewas ditempat kejadian, dengan berlumuran darah, kepala yang terbongkar, paha yang terbongkar, serta tubuh yang terlubangi peluru.
Majelis Hakim yang mulia..
Hidup Rakyat, Hidup Mahasiswa, Hidup Perlawanan Rakyat dan Mahasiswa
“Fundamental Problem atau Masalah Mendasar” yang dialami oleh warga nelayan adalah hilangnya sumber mata pencaharian mereka, dan hal tersebut seyogyanya harus segera ditemukan pemecahan masalahnya. Jika akar masalah tidak pernah terselesaikan, maka sampai kapanpun konflik Perusahaan versus warga nelayan akan terus terjadi.
Mengapa kami dipenjara dan diadili, hanya karena menuntut hak-hak kami. Mengapa Perusahaan yang selalu membohongi kami, tidak pernah diseret didepan pengadilan. Pihak Perusahaan pula yang membayar Aparat Kepolisian untuk melindungi kepentingan mereka. Sehingga aparat Kepolisian dengan rela menjadi abdi Perusahaan dan dengan senang hati membunuh rakyat dan mahasiswa. Simbiosis Perusahaan dan Polisi yang melahirkan pembunuhan terhadap rakyat dan mahasiswa akhir-akhir ini begitu sangat fenomenal sehingga melahirkan Tragedi Tiaka Berdarah, Tragedi Lampung Berdarah, Tragedi Bima Berdarah. Hari ini rakyat Indonesia menyaksikan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh Aparat Kepolisian, ditembaki, dibunuh bahkan dikriminalisasi menjadi pesakitan di hadapan persidangan. Lagi-lagi rakyat kecil yang selalu salah, sedangkan mereka-mereka yang memiliki uang dan kekuasaan tidak pernah salah. Seharusnya hakim melihat fakta-fakta kerugian, penderitaan, kemiskinan yang diderita oleh warga nelayan akibat beroperasinya Perusahaan Minyak Tiaka di wilayah kami.
Ya Tuhanku, jika kekayaan daerah kami
Hanya mendatangkan malapetaka dan penderitaan bagi kami
Maka tidak usah Engkau memberi kami kekayaan itu
Berilah kami tanah-tanah yang tandus
Agar orang-orang yang serakah itu tidak datang ke tanah-tanah kami
Agar mereka tidak merampas kehidupan kami yang sederhana ini
Kami tidak menginginkan menjadi kaya
Kami hanya menginginkan hidup bersahaja dan bersahabat dengan alam
Kami bisa berbicara dengan ikan-ikan dan terumbu karang
Dan mereka menyayangi kami dengan memberi penghidupan yang berkecukupan
Saat ini ikan-ikan dan terumbu karang itu telah marah kepada kami
Mereka tidak lagi menyayangi kami
Mereka telah jauh pergi meninggalkan kami
Menyisakan kemiskinan dan penderitaan
Tuhan, mengapa ikan-ikan itu pergi
Mengapa terumbu karang itu juga pergi
Apa salah dan dosa-dosa kami 3x
Tuhan, Engkau maha mengetahui apa yang terbesit didalam hati kami
Engkau mengetahui penderitaan-penderitaan kami
Tuhan, berikanlah kami jawaban keadilan dan kebenaran
Sehingga kami bisa menerima kenyataan ini dengan hati yang pasrah kepadaMU.
Jika jawaban keadilan dan kebenaran itu tidak kunjung datang
Maka kami akan terus melakukan perlawanan
Meskipun dengan darah, daging dan tulang
Hidup perlawanan rakyat..
Post a Comment