Header Ads

test

Kontrak MEDCO GROUP di BLOK Minyak TIAKA Hingga Tahun 2027, Apa yang Seharusnya Kita Lakukan?


Oleh: Andri muhamad sondeng

Kamis, 19 Mei 2011: Medco Group adalah Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang mengoperasikan setidaknya 6 (enam) lokasi kegiatan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Berikut uraian kontrak jangka panjang Medco Group di enam wilayah pertambangan tersebut di Indonesia: 

Berdasarkan informasi di atas, kegiatan pertambangan Minyak di Blok TIAKA, Morowali akan berakhir di tahun 2027. Jumlah kepemilikan saham Medco Group di Blok TIAKA sebesar 50% (persen), sedangkan sisanya dimiliki oleh PT. Pertamina. Dengan demikian, bagi kawan-kawan kaum intelektual, aktivis dan pemerhati masalah daerah, untuk kepentingan mengawal kegiatan Pertambangan Medco Group di TIAKA, masih memiliki kesempatan besar untuk melakukan koreksi dan upaya perbaikan demi masa depan masyarakat di Bungku Utara dan Mamosalato.

Beroperasinya Blok TIAKA erat kaitannya dengan kepentingan negara (Pemerintah Pusat) yang ditandai dengan kepemilikan saham 50% dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina

Maka segala upaya yang masih hanya sekedar perjuangan individu, kelompok dan golongan tidak akan berhasil mendorong perubahan dan perbaikan. Sehingga satu-satunya solusi atas permasalahan tersebut yaitu dengan mempersatukan seluruh komponen masyarakat Bungku Utara dan Mamosalato dalam gerakan sosial (social action) yang lebih besar. 

Tujuannya adalah untuk mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten dan Propinsi agar bersama-sama membuat penetapan dengan Peraturan Daerah (PERDA) berkenaan dengan pendanaan bagi Pemberdayaan Masyarakat disekitar wilayah dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan minyak di Blok TIAKA. 

Persoalan utama yang dihadapi oleh masyarakat korban aktivitas pertambangan di Blok Minyak Tiaka adalah kepastian hukum atas kewajiban perusahaan terhadap dua wilayah ini (Bungku Utara dan Mamosalato). Perlu diketahui bahwa kewenangan pengawasan terhadap operator minyak di BLOK TIAKA merupakan tanggung-jawab Pemerintah Kabupaten Morowali dan Propinsi Sulawesi Tengah.

“yang kita kehendaki hanyalah kepastian hukum, atas hak-hak masyarakat yang telah dirampas”

Sumber utama penyelesaian masalah Blok Minyak TIAKA adalah terkait dengan Kepastian Hukum atas kewajiban Perusahaan Pertambangan untuk memenuhi segala kewajibannya terhadap masyarakat yang menjadi korban (para nelayan) diwilayah AMDAL. Penetapan Perda oleh Pemerintah Daerah dapat menjadi payung hukum yang akan melindungi kepentingan masyarakat yang menjadi korban aktivitas pertambangan. 

Jika Perda tidaka ada, sulti rasanya untuk menjamin kepastian hukum bagi terpenuhinya hak-hak masyarakat. Terlebih lagi jika operator minyak sering ingkar janji "wanprestasi", maka fungsi Perda dapat menjadi alat upaya paksa oleh Pemerintah Daerah untuk menuntut Perusahaan  Minyak TIAKA memenuhi segala kewajibannya kepada masyarakat.

Terlebih lagi undang-undang Pertambangan yang ada tidak mengatur kewajiban Perusahaan Pertambangan secara khusus. Kewajiban eksplisit terhadap program-program pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan pertambangan didasarkan pada program suka rela. Hal ini sebagai akibat revisi aturan pemberdayaan masyarakat oleh BPMIGAS dimasa lalu. 

Dasar penepatan kegiatan pemberdayaan harus didasarkan pada “need assesment” terhadap kebutuhan masyarakat (bottom up) dan bukan atas dasar kepentingan pengusaha atau pemerintah semata (up to down)

Oleh karena itu perlu dilakukan penjaringan aspirasi masyarakat yang pada akhirnya melahirkan draft kesepakatan. Itulah substansi (inti) yang sebenarnya dari amanah Undang-Undang Pertambangan terkait Program-Program Pemberdayaan Masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin kepastian hukum atas hasil kesepakatan tersebut ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) yaitu PERDA Tentang Pemberdayaan Masyarakat Terkena Dampak Lingkungan Akibat Aktivitas Pertambangan Minyak Blok TIAKA. 

Tujuannya adalah agar Pemerintah Daerah bersama Legislatif Daerah (DPRD) dapat melakukan controlling atau pengawasan dan “confirmed” atau memastikan bahwa seluruh hak-hak masyarakat di berikan. Dan bertindak tegas dengan menerapkan “punishment” atau sanksi apabila terjadi pelanggaran. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi administratif, sanksi perdata, sanksi pidana, dan sanksi pencabutan izin pertambangan

Inilah mekanisme yang belum pernah dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat Bungku Utara dan Mamosalato yang menjadi korban aktivitas pertambangan. 

Sayangnya kesepakatan-kesepakatan tersebut seharusnya telah selesai (FINAL) di masa-masa awal sebelum perijinan kegiatan Pertambangan di terbitkan oleh Pemerintah Pusat. 

Oleh karena itu, untuk memulihkan hak-hak masyarakat yang telah di rampas, maka upaya perjuangan menuntut hak-hak harus terus dilakukan. 

...KITA BELUM TERLAMBAT...

...KITA TIDAK MENUNTUT SESUATU YANG MELEBIHI DARI HAK-HAK KITA...