MERAMPOK KEKAYAAN MOROWALI, antara Pemerintah & Pengusaha
Ironisnya sumber mata pencaharian nelayan tradisional yang berpuluh-puluh tahun lamanya, yang merupakan jantung ekonomi masyarakat nelayan menjadi tidak dapat di akses, karena beroperasinya lapangan minyak Tiaka.
Hal ini di sebabkan karena perairan Tiaka yang dulunya merupakan daerah dangkalan yang kaya dengan terumbu karang "coral reef" dan sebagai habitat bagi ratusan jenis ikan, hasil tangkapan teripang, gurita, dan kerang purba, telah di konversi "reklamasi laut" menjadi pulau untuk kepentingan pembangunan sumur minyak di wilayah ini.
Yang memperparah kemiskinan dan penderitaan warga nelayan yaitu adanya aturan dari Perusahaan yang tidak membolehkan nelayan melakukan penangkapan di sekitar wilayah penambangan mereka. Hal tersebut membuat nelayan tradisional menjadi semakin terpuruk.
Padahal wilayah ini merupakan spot pemancingan terbesar yang menopang kehidupan warga nelayan yang mendiami daerah ini. Bahkan bukan hanya nelayan dari dua Kecamatan ini saja yang melakukan kegiatan penangkapan ikan, nelayan dari kabupaten lain seperti Kabupaten Banggai (wilayah Rata), dan nelayan asal Buton (Sulawesi Tenggara) pun memanfaatkan melimpahnya kekayaan hasil laut di wilayah Tiaka.
Menurunnya hasil tangkapan ikan, memicu terjadinya inflasi harga di beberapa bahan kebutuhan pokok, seperti naiknya harga ikan, naiknya harga beras, dan kebutuhan pangan lainnya. Kondisi inflasi ini tidak diikuti dengan naiknya pendapatan masyarakat. Dengan kata lain masyarakat semakin miskin dan sulit memenuhi kebutuhan dasar ekonomi keluarga.
Nelayan tidak bisa hidup tanpa laut, ikan dan terumbu karang..
Seperti halnya petani yang tidak bisa hidup tanpa lahan pertanian..
Sebab laut, ikan dan terumbu karang adalah kesatuan budaya yang melekat pada kehidupan warga nelayan suku bajo di wilayah ini..
Pemerintah Daerah pun setali tiga uang dengan Pemerintah Pusat, sumber masalah yang di hadapi warga nelayan sejatinya di mulai sejak era pemerintahan Pak Tato yang saat itu menjabat Bupati Morowali. Pembiaran justru di lakukan oleh Pemerintah Daerah yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakatnya sendiri. Tidak ada upaya untuk mencabut izin konsesi PSC minyak yang hanya merugikan masyarakat. Seandainya kegiatan Drilling "pengeboran" minyak di lakukan dengan cara "onshore", tentu saja tidak akan berdampak terhadap wilayah ulayat pemancingan warga nelayan.
Disini entry point yang seyogyanya menjadi pertimbangan Pemerintah dalam menerbitkan izin kegiatan pertambangan. Pro pertumbuhan ekonomi itu sah-sah saja, tetapi tidak boleh menghancurkan daya dukung lingkungan dan kearifan lokal masyarakat setempat, terlebih lagi merampas penghidupan ekonomi para nelayan.
Selain itu, perilaku koruptif pejabat Morowali hingga hari ini memperburuk nasib masyarakat di wilayah ini.
Dana Bagi Hasil (DBH) yang diperoleh dari Minyak Tiaka, yang jumlahnya cukup besar di awal-awal produksi minyak Tiaka, tidak dimanfaatkan untuk pembangunan kembali infrastruktur vital di wilayah ini.
Pihak Perusahaan mengakui, bahwa anggaran pemberdayaan (Comdev/ CSR) di berikan ke Pemerintah Daerah. Sedangkan Pemerintah Daerah membantah keterangan Perusahaan itu. Entah pihak mana yang sengaja mengkorupsi anggaran pemberdayaan tersebut, kedua-duanya baik Pemerintah maupun Perusahaan sama-sama tidak bertanggung-jawab. Seharusnya pengalokasian anggaran tersebut di lakukan atas sepengetahuan masyarakat di wilayah AMDAL "asas transparansi" . Faktanya, anggaran itu tidak dinikmati oleh masyarakat di wilayah AMDAL Tiaka.
Selain itu anggaran DBH seolah-olah menjadi sumber pendapatan yang peruntukannya bagi pejabat daerah dan kroni-kroninya untuk memperkaya diri sendiri. Padahal dana tersebut seharusnya dapat di manfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat di wilayah AMDAL. Bukankah Pemerintah Daerah bertanggung-jawab terhadap pembangunan di daerah?
Banyak aspek pembangunan di masyarakat yang seyogyanya perlu mendapat perhatian serius dari alokasi dana pemberdayaan masyarakat maupun dari penerimaan DBH terpaksa di abaikan. Generasi muda di dua wilayah ini, yang sejak awal menempuh pendidikan di jenjang S1 dan S2 tidak mendapat bantuan dari tersedianya dana tersebut.
Padahal pendidikan di pandang penting untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Menginvestasikan dana di bidang pendidikan akan sangat membantu pembangunan daerah ini dimasa yang akan datang. Apa jadinya masyarakat sepeninggal operasi sumur minyak di daerah ini, jika masyarakat tidak berpendidikan bagus. Laut dan terumbu karang mereka sudah rusak, mata pencaharian mereka sudah hilang, sedangkan warga nelayan akan tetap tinggal dan hidup di wilayah ini.
Yang sangat memprihatinkan lagi, dana yang jumlahnya miliaran rupiah ini, justru dijadikan dana kampanye Pilkada dan suksesi pemekaran wilayah “Morowali Utara” sejak tahun 2004 silam. Hal ini tentu saja sangat tidak adil bagi warga di dua kecamatan ini yang menjadi sumber eksploitasi sumur minyak dan yang mengalami dampak terburuk terhadap kerusakan lingkungan serta memburuknya perekonomian mereka. Warga di dua kecamatan ini membutuhkan pembangunan ekonomi, bukan hanya di jadikan objek politik dan keserakahan birokrasi pemerintahan.
Terlepas dari pro kontra terkait perolehan DBH minyak Tiaka bagi daerah, mengapa tidak ada opsi untuk menutup saja sumur minyak Tiaka jika keberadaannya tidak menguntungkan masyarakat dan Pemerintah Daerah?
Kata yang tepat untuk menggambarkan mengapa kontrak Tiaka tidak pernah akan di batalkan oleh Pemerintah karena:
Hadirnya tambang minyak di wilayah Tiaka, dengan serta merta menghancurkan kehidupan warga nelayan di wilayah ini. Hal demikian merupakan penjajahan terhadap warga negara, yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, oleh oknum politisi dan pejabat birokrasi daerah yang korup, bersama antek-antek pemilik modal "berdalih investasi" yang merampas kehidupan warga nelayan hingga generasi anak cucu mereka, untuk ratusan tahun akan datang.
Solusi akhirnya, hanya satu yaitu terus menyuarakan perlawanan..
Lawan-lawan-lawan...
Post a Comment