Header Ads

test

Rakyat, Petani, Nelayan, Buruh Menggugat: Inilah Saatnya Gerakan Revolusi Minyak Nasional (The People, Farmers, Fishermen, Labour Sue: This Time Oil National Revolution Movement)


Jogjakarta, 21 Juni 2013

Editor: Andri muhamad sondeng

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) telah resmi dinaikkan melalui penetapan pagu Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun 2013. 
Fuel Oil price (Bahan Bakar Minyak) has been officially raised through establishment The State Budget Ceiling Revised (Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan) in 2013.
Sehingga dalam hitungan hari, BBM bersubsidi sudah dapat dinaikkan oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yodoyono, dengan merujuk pada penetapan pagu anggaran APBN-P Tahun 2013 yang baru saja di sahkan. 
So, a few days, subsidized fuel oil, has to be raised by the Government of Susilo Bambang Yodoyono, by reference to establishment The State Budget Ceiling Revised in 2013, which had just been legalized.
Dasar penetapan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi terbilang sederhana, yaitu sebagai akibat dari kenaikan harga minyak global sehingga memicu naiknya harga Indonesian Crude Price (ICP). Kenaikan ICP ini memicu membengkaknya Pagu anggaran APBN 2013 yang peruntukannya untuk mensubsidi BBM dalam negeri. 
Basic for setting the rising prices of subsidized fuel oil is quite simple, that is due of rising global oil prices, so trigger a rise Indonesian Crude Price (crude oil price). This rising of Indonesian Crude Price, trigger swelling of the state budget ceiling in 2013, allocation to subsidize domestic fuel oil. 
Pemerintah menjelaskan posisi Subsidi BBM yang membengkak sebagai akibat dari realisasi (target pencapaian) lifting minyak Indonesia yang mengalami penurunan. Sehingga mendorong impor yang lebih besar dari sumber minyak luar negeri (Net-Importir minyak). 

Target lifting minyak yang diharapkan adalah bisa mencapai 1 juta BOPD. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi dalam negeri, Pemerintah tidak perlu melakukan impor minyak dari negara luar. 

Sehingga hipotesis terkait kenaikan harga BBM sebenarnya diakibatkan oleh menurunnya lifting minyak Indonesia, yang berdampak pada beban impor minyak dari luar negeri, dan ketergantungan harga minyak luar negeri terhadap harga komoditas minyak global.

Dengan rumus yang sederhana ----------) BBM Naik = Lifting Minyak Turun + Impor Meningkat + Harga Minyak Global Meningkat

Dengan demikian, apakah Pagu anggaran APBN Indonesia benar-benar akan jebol apabila BBM bersubsidi tidak segera di naikkan?

Hipotesis masalah diatas yaitu:  

Pagu Anggaran APBN Jebol ----------) Maka BBM Bersubsidi Harus Naik

Kondisi yang digambarkan oleh Pemerintah bahwa BBM bersubsidi akan di khawatirkan membebani Pagu anggaran APBN sehingga potensi membengkaknya anggaran harus di atasi dengan segera menaikkan harga BBM bersubsidi. Ke khawatiran itu di dukung dengan sentiment pasar, yang oleh para analis Bursa Saham di Indonesian Stok Exchange (IDX) mencatut ketidak pastian kenaikan harga BBM sebagai penyebab melemahnya nilai tukar Rupiah menjadi Rp. 9.881 per dolar AS (per 17/6/2013). 

Namun setelah kepastian kenaikan harga BBM bersubsidi telah ditetapkan oleh DPR RI, nilai tukar Rupiah menguat kembali menjadi Rp. 9.818 per dolar AS (per 18/6/2013). 

Perubahan dari Rp. 9.881 menjadi Rp. 9.818 di sebut oleh para analis pasar sebagai kondisi sentimen pasar yang menguntungkan Indonesia.

Dari Rp. 9.881 menjadi Rp. 9.818 terdapat selisih perbedaan hanya sebesesar Rp. 63 per dolar AS. 

Selisih penguatan Rupiah sebesar Rp. 63 per dolar AS tersebut, ternyata membuat Pemerintah Indonesia Bangga, dengan apresiasi pasar yang katanya positif itu. 

Lalu siapa yang menikmati penguatan Rupiah sebesar Rp. 63 per dolar AS?

Mereka adalah para pialang saham, pemain bursa saham baik lokal maupun asing, yang nota bene adalah segelintir orang dari ratusan juta penduduk Indonesia. 

Bagaimana dengan ratusan juta penduduk Indonesia?? Apakah menikmati penguatan Rupiah sebesar Rp. 63 per dolar AS tersebut?? 

Apakah penguatan Rupiah sebesar Rp. 63 per dolar AS tersebut dapat menyelematkan APBN??  

Pada kenyataannya alasan yang  mendorong kenaikan harga BBM bersubsidi oleh Pemerintah adalah “kekhawatiran berlebihan”, “ancaman ketidakpastian pasar”, “ketakutan melemahnya nilai tukar rupiah”, “Probabilitas Pasar”, “Moral Hazard”, dan sederetan referensi “Mekanisme Pasar” yang dianut oleh “Politik Anggaran APBN Indonesia”. 

Politik Anggaran APBN yang mengacu pada “Mekanisme Pasar” tersebutlah yang mendasari pengambilan keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, karena “kekhawatiran” Pagu Anggaran APBN akan jebol, dengan menurunnya lifting minyak Indonesia (<1 juta BOPD), terlebih lagi posisi Indonesia yang katanya tergolong Negara Net-Importir, dan dapat dipicu oleh kenaikan harga minyak global. 

Kata Kunci BBM naik: Kekhawatiran, ketakutan, Probabilitas Pasar, dan Moral Hazard

Mendengar istilah-istilah seperti “Probabilitas Pasar” dan “Moral Hazard”, ingatan kita akan kembali pada memori peristiwa krisis ekonomi Tahun 1998 yang mendera Indonesia dimasa silam. 

Kilas Balik Krisis 98 mengingatkan kita pada fenomena pasar "hit and run" yang disebabakan oleh "psikologi pasar, Moral Hazard, intrik asing", yang melahirkan runtuhnya ekonomi indonesia dalam sekejap.

Selain itu, masih segar dalam memori ingatan kita terkait kasus Bank Century (skandal bailout) yang merugikan keuangan negara Rp. 6,7 Triliun. Skandal Bank Century tersebut memiliki fundamental ideologi ekonomi yang sama yaitu “Probabilitas Pasar” dan “Moral Hazard”.  

Kata Kunci: Krisis 98, Skandal Bank Century, dan Kenaikan Harga BBM Bersubsidi disebabkan oleh ideologi yang sama yaitu “Probabilitas Pasar” dan “Moral Hazard”.
 
Menyoal kenaikan Harga BBM bersubsidi, sejatinya memiliki rumusan pemecahan masalah yang terbilang realistis, sehingga tidak perlu terlalu menghamba pada Ideologi “Probabilitas Pasar” dan “Moral Hazard”

Solusi pemecahan BBM bersubsidi seharusnya dimulai pada pemecahan sumber masalah (core problem) yaitu:
  1. Masalah tidak maksimalnya penerimaan negara
  2. Membengkaknya pengeluaran APBN
  3. Rendahnya lifting minyak Indonesia
Terkait dengan masih rendahnya penerimaan negara (dari sektor penerimaan negara Non-Migas) sebaiknya Pemerintah berfokus pada penanggulangan penyelewengan Pajak (mafia pajak) yang selama ini banyak membobol penerimaan negara dari sektor pajak. Mengingat kontribusi pajak bagi penerimaan negara sangat signifikan yaitu sebesar 77,99 % (persen) atau setara dengan Rp. 1.193 Triliun (asumsi di tahun 2013). 

Kata Kunci: lebih baik memperbaiki sumber pendapatan Pajak Nasional yang berkontribusi 77,99 % (persen) terhadap APBN Indonesia, dibanding harus bangga dengan penguatan Rupiah sebesar Rp. 63 per dolar AS tetapi rakyat menderita. 

Untuk menanggulangi membengkaknya pengeluaran APBN (Belanja Negara), maka sebaiknya fokus Pemerintahan SBY dan Boediono adalah betumpu pada upaya memerangi kebocoran anggaran, memerangi korupsi baik di birokrasi maupun pada badan anggaran (Banggar) Legislatif, menanggulangi pemborosan penggunaan anggaran dan memerangi Murk-up anggaran yang sering kali menguras kantong APBN Negara. Hal ini begitu penting sebab alokasi Belanja Negara yang tergolong Pengeluaran Pemerintah Pusat mencapai Rp. 1.154 Triliun dan Pengeluaran dalam bentuk Transfer ke Daerah sebesar Rp. 529 Triliun. 

Lalu dimana letak posisi alokasi subsidi BBM pada Belanja Negara?

Subsidi BBM di atur dalam Pengeluaran Pemerintah Pusat dengan nilai sebesar Rp. 211,9 Triliun untuk Tahun 2012. Besaran subsidi ini merangkak naik dan membengkak dari Rp. 36 Triliun di Tahun 2011 menjadi Rp. 211,9 Triliun di Tahun 2012. Peningkatan jumlah subsidi diantara Tahun 2011-2012 melonjak cukup besar yaitu Rp. 176 Triliun. 

Dasar penetapan harga subsidi BBM yaitu merujuk pada harga Indonesian Crude Price (ICP) dan penetapan harga ICP di dasarkan pada perbandingan harga minyak global. 

Yang perlu dikoreksi dari penetapan harga subsidi BBM sebesar Rp. 211,9 Triliun di Tahun 2012 tersebut adalah apakah harga minyak dari perut bumi Indonesia harus menggunakan rujukan harga minyak global? Sebab harga yang digunakan oleh Indonesian Crude Price (ICP) ekuivalen (sama) dengan acuan harga minyak mentah tertinggi di dunia "minyak Brent". 

Berikut perbandingan harga minyak menurut Indonesian Crude Price (ICP) dan beberapa rujukan harga minyak dunia di Tahun 2011: 
Berdasarkan tabel diatas, harga minyak rujukan Indonesia berupa Indonesian Crude Price (ICP) setara (equivalen) dengan harga minyak mentah tertinggi dunia yaitu acuan harga minyak Brent.   Padahal masih terdapat rujukan harga minyak mentah dunia yang harganya lebih rendah dibandingkan harga minyak acuan ICP yaitu harga minyak WTI. 

Perbandingan trend harga minyak menurut ICP, Brent dan WTI masih tetap sama untuk tahun 2012 dan tahun berjalan 2013, mengikuti trend (pola) yang ditunjukan oleh harga minyak di tahun 2011 tersebut. 

Mengapa harga minyak yang berasal dari perut bumi Ibu Pertiwi Indonesia, Tanah Air Indonesia, Tanah Tumpah darah Indonesia, harus dijual ke rakyat Indonesia sendiri dalam bentuk harga ICP yang nota bene setara dengan harga minyak Brent Eropa? 

Mengapa bisa kebijakan penerapan harga minyak yang bersumber dari ICP, nilainya sama dengan harga minyak mentah termahal di Dunia?

Dengan acuan harga ICP tersebut, Pemerintah juga menetapkan besaran nilai subsidi BBM senilai Rp. 211,9 Triliun untuk Tahun Anggaran 2012.

Hal ini tentu saja sangat tidak adil dan membebani rakyat Indonesia. 

Kebijakan ini jelas-jelas merupakan penghianatan SBY dan Boediono terhadap Aset minyak yang seharusnya di kuasai oleh Negara dan peruntukannya untuk kesejahteraan rakyat (pasal 33 UUD 1945). 

Jika kita mengacu pada klaim Pemerintah bahwa apabila target realisasi lifting minyak Indonesia dapat mencapai 1 juta BOPB, maka sudah barang tentu, Indonesia tidak memerlukan impor minyak dari Luar Negeri. 

Apa benar seperti itu? 

Berdasarkan realisasi lifting minyak Indonesia pada tahun 2011, Pemerintah mengumumkan bahwa pencapaian lifting minyak sebesar 898 Ribu BOPD, dari target lifting minyak yang ditetapkan dalam APBN senilai 900 Ribu BOPD (APBN 2011). 

Dengan menghitung selisih dari target lifting ideal (target lifting+ Non Subsidi) dengan target lifting APBN ditahun 2011 (lifting dalam satu tahun), maka akan diperoleh besaran subsidi senilai 36 Triliun Rupiah di Tahun 2011 seperti tampak pada tabel dibawah ini:
Berdasarkan perhitungan kebutuhan subsidi BBM, bahwa rujukan dasar perhitungan subsidi Pemerintah mengacu pada “Target dan Realisasi” Lifting Minyak dalam APBN Indonesia. Target dan Realisasi Lifting Minyak tersebut mengacu pada harga yang ditetapkan oleh Indonesian Crude Price (ICP), dengan harga minyak mentah yang  sama (equivalen) dengan harga rata-rata (mean) yang di tetapkan oleh minyak Brent Eropa. 

Kata Kunci: Harga ICP sama dengan harga Minyak Brent Eropa.

Dengan demikian, Pemerintah Indonesia selama ini telah membeli harga minyak sendiri, yaitu minyak yang berasal dari perut bumi Indonesia, Tanah air Indonesia, Ibu Pertiwi Indonesia, sumur-sumur minyak Indonesia, dengan harga yang sama mahalnya dengan minyak Brent Eropa. 

Kata Kunci: Harga minyak mentah yang berasal dari sumur-sumur Indonesia dijual ke Pemerintah Indonesia, dengan harga pembelian termahal, seperti halnya harga minyak Brent Eropa

Sumur-sumur minyak dalam negeri wajib menjalankan ketentuan Domestic Market Oblogation (DMO) yaitu berupa kewajiban bagi sumur-sumur yang berasal dari dalam negeri, untuk menyediakan 25% bagian produksinya dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Namun harga yang ditetapkan, mengikuti harga ICP, yang tentu saja tergolong harga internasional. 

Kata Kunci: Harga DMO juga mengikuti harga ICP
 
Oleh karena itu, menjadi aneh ketika Pemerintah harus membeli minyak yang berasal dari rumah sendiri, namun penetapan harganya mengikuti harga minyak termahal di Dunia. 

Padahal peruntukan minyak tersebut akan digunakan untuk menggerakkan ekonomi rakyat dan bangsa Indonesia. 

Sehingga untuk membeli minyak, Pemerintah harus mengeluarkan Anggaran APBN yang sangat besar. 

Kata Kunci: Pemerintah sengaja menerapkan harga pasar internasional untuk harga acuan minyak yang berasal dari sumur-sumur Indonesia, agar Pemerintah bisa melakukan Mark Up anggaran, yang bertujuan untuk menipu rakyatnya sendiri, dengan mengklaim bahwa beban subsidi BBM sangat besar. 

Pemerintah Kita sedang bermain "MONOPOLI" dengan aset sumur-sumur minyak negeri sendiri, dengan berharap dapat menyelewengkan dana-dana kelebihan dari perolehan pendapatan yang sebenarnya "penganggaran yang semu".

INI SEBUAH KESALAHAN BESAR (PEMBODOHAN SISTEMATIS NEGARA TERHADAP RAKYATNYA SENDIRI) 

Kata Kunci: Menentukan Harga Subsidi BBM Indonesia dengan menggunakan asumsi harga tertinggi dari harga minyak Dunia adalah sebuah tanda Tanya besar. Mengapa itu dilakukan oleh Pemerintah? 

Selain persoalan belum maksimalnya penerimaan negara (sektor non-migas), dan membengkaknya anggaran APBN, masalah lainnya juga berasal dari masih rendahnya realisasi volume Lifting Minyak yang saat ini masih berada di bawah 1 juta BOPD.  
Sebagai catatan, ditahun 2011 terhitung realisasi Lifting hanya mencapai 898 Ribu BOPD, lalu realisasi lifting per Desember 2011-November 2012 rata-rata mencapai 860 Ribu BOPD, realisasi lifting per Desember 2012-Maret 2013 hanya 826 Ribu BOPD. 

Mengapa realisasi lifting minyak begitu penting?

Sebab lifting minyak mempengaruhi komponen pendapatan dalam Pagu Anggaran APBN Indonesia. Besarannya dalam pagu anggaran 2011 sebanyak Rp. 141 Triliun (Total Migas sebesar Rp. 194 Triliun). Ditahun 2012 penerimaan dari minyak adalah Rp. 151 Triliun (Total Migas sebesar Rp. 198 Triliun). Dan ditahun 2013 target penerimaan negara dari minyak sebanyak Rp. 121 Triliun (Total Migas sebesar Rp. 175 Triliun). 
Adapun berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro, lifting minyak ditargetkan mencapai 900 Ribu BOPD di tahun 2013 ini. Berikut perbandingan target lifting minyak dari tahun 2011-2013: 
“Target dan Realisasi” lifting minyak diatas pada dasarnya menunjukan bagian perolehan Negara dari sumber sumur-sumur minyak Indonesia. 

Dengan bahasa sederhana bahwa target lifting minyak yang ditentukan oleh APBN hanyalah mengambil bagian dari lifting minyak, setelah dikurangkan dengan komponen lifting minyak dari para kontraktor-kontraktor minyak. 

Rumus: 

Lifting Minyak Indonesia = Lifting Minyak Kotor (Gross Lifting) – Komponen Lifting Kontraktor Minyak
Permodelan diatas mempertegas bahwa status kepemilikan sumur-sumur minyak di Indonesia akan berkorelasi linier dengan meningkatnya pendapatan, termasuk bagian pendapatan “share” yang berupa lifting minyak. 

Kasus yang terjadi di Indonesia justru kepemilikan sumur-sumur minyak di Indonesia, mayoritas di kuasai oleh Internasional Oil Company (IOC) Asing. 
Penguasaan ICO Asing di sumur-sumur minyak Indonesia tentu berimplikasi/ berdampak pada komponen pendapatan Pemerintah Indonesia, karena harus berbagi kepentingan dengan para ICO Asing tersebut. 

Dalam posisi saat ini, Negara perlu melakukan upaya peningkatan "bagian lifting minyak" yang tergolong "goverment share", yang pada akhirnya meningkatkan “Indonesian Take”. 

Sehingga negara tidak perlu “berkeluh-kesah” dan “mengorbankan rakyat sendiri”, hanya karena realisasi “target lifting" minyak milik Indonesia masih sangat rendah. 

Rendahnya lifting minyak Indonesia selalu menjadi alibi Pemerintah dibalik kegagalan mengelola sumur-sumur minyak miliki Indonesia dan lebih sering menggunakan alasan bahwa “Negara Indonesia bukan lagi sebagai negara pengekspor minyak, tetapi tergolong negara Net-Importir Minyak”. 

Rumus masalah: 

Lifting Minyak Rendah -------) Maka Indonesia menjadi Net-Importir Minyak

Lalu bagaimana pemecahan masalahnya?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa realisasi lifting minyak yang diumumkan dalam APBN, adalah bagian “lifting minyak” yang diterima oleh Negara, setelah membagi habis bagian lifting minyak untuk para kontraktor minyak. Dalam hal ini adalah 95% (persen) bagian dari IOC Asing yang menguasai sumur-sumur minyak Indonesia. 

Terlebih lagi dalam meknisme Production Sharing Contrac (PSC), alokasi bagi hasil minyak ternyata masih di dominasi oleh anggaran cost recovery yang tinggi, sehingga semakin menekan pendapatan bagi Negara dari sektor Migas. 

Sumber masalah: 

Tingginya penguasaan ICO Asing terhadap sumur-sumur Minyak Indonesia, menyebabkan Perusahaan Minyak Milik Negara seperti PERTAMINA, tidak dapat mandiri dalam mengelola sumur-sumur minyak Nasional

Lalu bagaiman sikap yang seharusnya diambil oleh Pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan industri hulu migas “upstream” agar Indonesia lebih mandiri dan dapat menentukan bagian yang lebih besar bagi penerimaan Negara?
Solusinya terbilang sederhana.. 

Upaya "divestasi" atau "akuisisi" atau lebih populer dengan istilah “nasionalisasi” kepemilikan saham ICO asing dan menyerahkan pengelolaan sumur-sumur minyak Indonesia ke Perusahaan Minyak Negara "Pertamina". 

Pertamina harus diberi kesempatan dan peluang untuk bangkit mereformasi organisasi Perusahaannya, karena Pertamina adalah Aset Bangsa ini. Pertamina perlu diperkuat kembali, dengan peran yang lebih besar, sebagai pemain utama di industri hulu migas Nasional “upstream”. 

Hubungan "Divestasi" atau "Akuisisi" atau "lebih tepatnya nasionalisasi" kepemilikan sumur-sumur minyak indonesia yang dikelola oleh ICO asing, dengan peningkatan volume lifting minyak "sebagai bagian dari share untuk pemerintah", merupakan outcome dari produksi minyak di aktivitas hulu "sumur-sumur minyak" dalam bentuk lifting minyak, yang akan menghasilkan "gross revenue" dari lifting minyak. 

Namun pendapatan dari produksi minyak yang disebut "gross revenue", harus di bagi-bagi lagi diantara dua kepentingan yaitu kepentingan ICO asing dan kepentingan Pemerintah. 

Sederhananya "gross revenue" tersebut bukan hanya milik pemerintah semata (100 persen) tetapi sebagian lainnya merupakan milik ICO Asing. 

Dengan ilustrasi yang lebih mudah, "Kue milik rakyat indonesia, dari bumi indonesia, dibagi untuk Pemerintah dan kepentingan Asing". 

“Kue Pemerintah” itu terdiri dari FTP share, equity share, Corparate Tax, Branch Profit Tax, taxable income pertamina, pertamina equity share

Sedangkan untuk bagian “kue IOC asing” antaralain berbentuk cost recovery, FTP share, equity share, dan DMO fee

Dengan demikian, tentunya kita dapat menyimpulkan, mengapa Pemerintah harus menempuh upaya "divestasi" atau "akuisisi" atau "nasionalisasi" kepemilikan IOC asing atas sumur-sumur minyak indonesia. 

KITA MENGHENDAKI “KUE MINYAK” YANG LEBIH BESAR BAGI NEGARA DAN PADA AKHIRNYA DAPAT DIGUNAKAN UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT

Pada akhirnya, Minyak Indonesia yang berasal dari Ibu Pertiwi, Tanah Air, Tanah Tumpah Darah Rakyat Indonesia, dapat berdaulat sepenuhnya, dan tidak lagi harus bergantung pada upaya Perusahaan-Perusahaan Asing. 

MINYAK INDONESIA HARUS BERDAULAT. 

Dengan berupaya memperbaiki lemahnya penerimaan negara (sektor non-migas), masalah membengkaknya postur APBN, dan masalah rendahnya lifting minyak Nasional, maka sumber-sumber masalah yang disebut-sebut mempengaruhi “will” pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sejatinya masih dapat dipecahkan (di solving) dengan skenario lain yang tidak perlu mengorbankan rakyat sendiri. 

Yang negara ini butuhkan adalah melanjutkan agenda Reformasi Finansial, Reformasi Anggaran, Reformasi Pengaruh Pasar dan melakukan agenda “penguasaan kembali” sumur-sumur minyak Nasional, dengan mengembalikannya kepada peran Perusahaan Minyak milik Negara (Pertamina), melalui penguatan finansial dan komitmen politis, agar bangsa ini tidak lagi harus di dikte oleh kepentingan “politik minyak asing”. 

Dengan melakukan upaya-upaya perbaikan di sektor kebijakan anggaran dan nasionalisasi asset hulu migas “upstream” maka dirasa tidak perlu untuk terburu-buru menaikkan harga BBM bersubsidi. 

Sumber jebolnya anggaran “finansial damage”, sejatinya bukan hanya berasal dari beban subsidi yang semakin meningkat, melainkan sebagai dampak dari “multiple causa” berupa salah kelola sistem keuangan Negara, disertai dengan pendekatan politik anggaran yang tergolong “pemborosan anggaran”, “murk up anggaran”, “korupsi anggaran”, dan “penyelewengan pajak”. 

DENGAN DEMIKIAN BBM BERSUBSIDI TIDAK PERLU NAIK

Subsidi BBM sampai hari ini masih menjadi "jaring pengaman sosial" bagi rakyat dan usaha kecil menengah, untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat kecil, sebab BBM yang murah, akan menekan beban ongkos produksi (cost) bagi produk-produk kreatif yang berasal dari usaha kecil rakyat. Sehingga rakyat dan para pelaku usaha kecil dan menengah, dapat melebihkan pendapatan mereka untuk di tabung (saving), dan memenuhi kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder lainnya bagi keluarga-keluarga pelaku usaha kecil.  

Sehingga, yang tumbuh bukan hanya para pemilik modal besar, seperti Bakrie Group, Medco Group, dan lain-lainnya yang tergolong Para pemilik Kapital Besar. 

Alibi lainnya yang di ungkapkan oleh pemerintah, adalah mengalihkan Pencabutan Subsidi BBM tersebut ke dalam bentuk BLSM "yang sifatnya sementara", dan program-program kesejahteraan lainnya seperti raskin dan lain-lain.

Persoalan lainnya kemudian muncul seperti ini, “terdapat program kesejahteraan bantuan pemerintah sebagai hasil pencabutan subsidi BBM”, lantas apakah program ini tidak akan menjadi sumber korupsi baru oleh birokrasi bersama kepentingan legislative?

Sehingga masalah program bantuan pemerintah akan kembali lagi ke persoalan mendasar, yaitu masalah Korupsi. 

Soal BLSM yang katanya menggunakan sistem "Id Card", hal demikian bukanlah soal penting yang harus diributkan, karena program ini bersifat program musiman saja "terhitung program sementara".

Dampak inflasi tentu saja sudah terlanjur terjadi, inflasi yang merangkak naik, ongkos produksi (cost) untuk usaha kecil menengah yang membengkak, upah buruh yang masih tetap sama, gaji PNS yang juga stabil, tentunya hal tersebut merupakan masalah jangka panjang yang akan mencekik rakyat (relatif kronis dan permanen sifatnya).  

Upaya untuk menahan syahwat Pemerintah agar urung menaikkan harga BBM, harus mempertimbangkan dampak bagi lemahnya daya saing Usaha Kecil dan Menengah, Para petani lokal, Nelayan lokal, Buruh dengan upah yang masih rendah (inflasi membuat rasio pendapatan dan pengeluaran mereka menjadi semakin kecil), dan Para PNS golongan rendah dengan gaji yang masih cukup rendah. 

Dengan demikian tanpa berfikir panjang, Negara harus menunda kenaikan harga BBM, dengan berfokus pada upaya mengembalikan “Kedaulatan Minyak Nasional” kepada bangsa dan rakyat sendiri, melalui Gerakan Revolusi Minyak Nasional. 

MARI MEMBANGUN KONSOLIDASI NASIONAL UNTUK GERAKAN REVOLUSI MINYAK NASIONAL, INILAH SAATNYA MOMENTUM YANG TERBAIK BAGI RAKYAT DAN NEGARA UNTUK MENGEMBALIKAN CITA-CITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN AMANAH UUD 1945, UNTUK MELAKUKAN NASIONALISASI SUMUR-SUMUR MINYAK INDONESIA.

SALAM REVOLUSI

8 komentar

Anonim mengatakan...

RAKYAT TIDAK BOLEH TERASING

RAKYAT TIDAK BOLEH MISKIN

RAKYAT TIDAK BOLEH MENANGIS

HANYA KARENA PARA PENGUASA YANG KHIANAT

RAKYAT PUNYA KEKUATAN UNTUK MENGGULINGKAN PARA PENGUASA YANG LALIM TERHADAP RAKYAT

AYO BANGUN REVOLUSI MINYAK NASIONAL

Anonim mengatakan...

Kasihan masyarakat indonesia dari sabang sampai merauke harus merasakan BBM naik, sedangkan Abu Rizal Bakri memperoleh subsidi dari Pemerintah, untuk mendanai Lapindo, ini tidak adil bagi rakyat kecil

Anonim mengatakan...

Gaji gue kepotong deh akibat Bbm naik gue kemana mana make motor mana lagi harus bayar ongkos bensin yang makin mahal, beli susu untuk anak, beli beras untuk kepeluan rumah tangga, wah pokoknya banyak yang kagak ketanggulangi.

Anonim mengatakan...

GANYANG SBY!!!!!!!

Anonim mengatakan...

SBY PENGHIANAT RAKYAT

Anonim mengatakan...

REZIM PENIPU RAKYAT HARUS BUBAR

Anonim mengatakan...

SBY loe kelaut aja

Anonim mengatakan...

bubarkan pemerintahan SBY-BOEDIONO