Header Ads

test

BUDAYA DAN TRADISI BAJO YANG HILANG SEBAGAI DAMPAK HADIRNYA PRODUKSI MINYAK TIAKA

Hadirnya Investasi Minyak Tiaka yang dijalankan oleh JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi (PMTS) di perairan laut Tiaka telah menimbulkan konflik berkepanjangan  diwilayah Morowali, Sulawesi Tengah. Tepatnya diwilayah Desa Kolo Bawah, kampung nelayan Suku Bajo yang mayoritas adalah nelayan Tradisional.  



Konflik di Desa Nelayan tersebut terus berlangsung hingga hari ini. Sumber masalah utama yang dihadapi oleh Nelayan Bajo adalah hilangnya akses pemancingan atas perairan Tiaka. Inilah yang menjadi akar masalah atas konflik berkepanjangan antara Nelayan Bajo dengan pihak Perusahaan Minyak tersebut. 

Wilayah perairan Tiaka yang saat ini menjadi lokasi Rig Minyak Tiaka, dulunya dikenal dengan sebutan “Sapa Mataha  yang artinya dangkalan yang panjang. Wilayah ini sebenarnya merupakan lokasi berlangsungnya salah satu Budaya Bajo yaitu Pongka. Pongka diartikan dalam kebudayaan Bajo sebagai aktivitas mencari hasil laut sambil tinggal menetap sementara yang berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu lamanya. Budaya Pongka tersebut terutama berlangsung saat musim ombak berakhir. Aktivitas budaya Pongka dapat berlangsung hingga 6-7 bulan lamanya. Saat musim ombak datang, maka nelayan Bajo menghentikan aktivitas Pongka tersebut. 

Dalam tradisi Pongka, Nelayan Bajo biasanya membawa serta anggota keluarganya yang terdiri dari Ibu-Ibu dan Anak-Anak. Mereka tinggal sementara diwilayah perairan Tiaka sambil mengumpulkan hasil perikanan. Hasil yang mereka peroleh sangat beragam, meskipun dengan alat tangkap yang masih terbilang sangat tradisional. Hasil tangkapan yang dapat diperoleh dari perairan Tiaka diantaranya beragam jenis ikan, Lobster “udang laut”, Kerang mutiara kima, Ikan Gurita dan Timun laut “Teripang”. 

Menurut petuah orang-orang Tua masyarakat Adat Bajo, pada dasarnya Nelayan Bajo hanya menguasai 2 (dua) kemampuan untuk memperoleh hasil perikanan dari wilayah laut yaitu kemampuan memancing dan kemampuan menjala ikan “Pukat”. Selebihnya masyarakat adat Bajo praktis tidak menggunakan teknologi alat tangkap moderen. Itulah sebabnya, Nelayan Bajo sangat mengandalkan ketersediaan ikan dari melimpahnya hasil perikanan yang terdapat di alam “ekosistem laut”. Wilayah yang saat ini menjadi lokasi Rig Minyak Tiaka merupakan spot pemancingan terbesar yang menghidupi Nelayan Bajo dari dulu kala hingga sekarang.  

Sebagai gambaran melimpahnya perolehan hasil tangkapan perikanan oleh nelayan Bajo sebelum Rig Minyak Tiaka beroperasi diwilayah perairan Tiaka yang merupakan lokasi berlangsungnya tradisi Pongka, berikut kami tampilkan data potensi pendapatan nelayan sebelum dan sesudah beroperasinya Rig Minyak Tiaka:

Dari data diatas tampak jelas kehidupan Nelayan Bajo mengalami masa tersulit sejak Rig Minyak Tiaka beroperasi. Dimana dengan biaya “ongkos” melaut yang dapat mencapai Rp 1.200.000 hanya berkontribusi pada pendapatan Nelayan yang hanya mencapai satu ikat ikan “atau satu cucu, sebutan Nelayan Bajo” yang setara dengan Rp 20.000. Perolehan satu ikat ikan “satu cucu” terkadang terbilang sangat beruntung, kadang-kadang seharian mencari hasil laut Nelayan Bajo tidak memperoleh apa-apa. Akibatnya kebanyakan Nelayan Bajo mensiasati kebutuhan keluarga mereka dengan mengutang ke warung-warung yang menjual kebutuhan sembako. Tidak jarang juga, untuk keperluan biaya melaut, Nelayan Bajo terpaksa harus mengutang Bensin atau Solar agar bisa tetap melaut. Sungguh ironi dan menyedihkan memang nasib warga Bajo diwilayah Desa Kolo Bawah.

Kondisi tersebut terlihat begitu kontras sebelum Rig Minyak Tiaka (JOB PMTS) beroperasi di perairan Tiaka. Tampak pada statistik diatas perolehan pendapatan yang bisa mencapai Rp 1.000.000 ditiap kali Nelayan turun melaut. Pendapatan itu begitu fantastis jika dibandingkan dengan biaya “ongkos” melaut yang hanya mencapai Rp 30.000. Ini berkat belum terganggunya ekosistem laut dan “coral reef” yang ada di wilayah perairan Tiaka.

Salah satu dampak yang sangat terasa oleh Nelayan Bajo dengan beroperasinya Rig Minyak Tiaka adalah menghilangnya ikan di semua lokasi pemancingan dalam radius 9-10 Mil dari sumber Rig Minyak Tiaka. Menurut pengakuan Nelayan Bajo asal Desa Kolo Bawah, saat ini semua ikan berkumpul mendekati wilayah Rig Minyak Tiaka tanpa alasan yang tidak dipahami oleh mereka. Sedangkan wilayah disekitar Rig Minyak Tiaka, dilarang untuk aktivitas pemancingan Nelayan Bajo. Menurut Humas JOB PMTS, larangan ini dilakukan seagai protab pengamanan wilayah Rig Minyak Tiaka. Praktis kondisi ini semakin memperburuk kemiskinan yang dialami oleh Nelayan Bajo.

Adanya larangan untuk mendekati perairan disekitar Rig Minyak Tiaka yang notabene merupakan sumber penghidupan ekonomi Nelayan Bajo dan sekaligus sebagai lokasi berlangsungnya tradisi Bajo “Pongka” dengan sangat jelas memiskinkan Nelayan Bajo serta menghilangkan “memberangus” tradisi Nelayan Bajo yang telah berlangsung beratus-ratus tahun lamanya.

Budaya “Pongka” praktis telah menghilang dari perairan Tiaka, praktis juga bencana pemiskinan Nelayan Bajo bertubi-tubi menghantam masyarakat adat Bajo. Ketika tradisi dan budaya masyarakat adat dihancurkan demi yang katanya pendapatan Negara dari sektor minyak, terasa sangat tidak adil dan mengusik nurani kita. 

Bukankah eksploitasi “produksi” sumber-sumber minyak bertujuan untuk kesejahteraan rakyat pula? Namun mengapa produksi minyak Tiaka malah menghancurkan tradisi dan budaya Nelayan Bajo? Juga melahirkan bencana pemiskinan bagi warga Nelayan  Bajo?

Siapakah penerima manfaat kesejahteraan dari kekayaan minyak Tiaka yang katanya untuk rakyat? Konsititusi kita mengakui adanya kebinekaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Pengakuan atas warisan budaya dan tradisi berbagai macam suku bangsa yang diakui eksistensinya, bukankan itu wajib dilindungi dan dilestarikan? Bukankah budaya dan tradisi Bajo merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimliki oleh bangsa ini? 

Mengapa pula budaya dan tradisi Bajo dipaksa tunduk pada kepentingan eksploitasi “produksi” minyak Tiaka? Pada akhirnya budaya dan tradisi itu hilang untuk selama-lamanya? 

Betapa tragis nasib masyarakat adat Nelayan Bajo, bukan hanya kehilangan laut sebagai sumber pencaharian mereka, kehilangan pendapatan guna memenuhi penghidupan mereka, melainkan terpaksa pula harus kehilangan Adat, Tradisi dan Budaya yang diwariskan oleh nenek moyang Bajo sejak dahulu kala. Kondisi ini sangat menyakitkan bagi mereka dan pastinya akan memicu gerakan perlawanan yang semakin besar dimasa-masa yang akan datang.

Wahai penguasa..

Wahai para pemilik modal..

Wahai kaum kapitalis..

Tidakkah kalian melihat kebawah..

Tanah dan laut yang kalian pijak, terdapat jejak nenek moyang kami..

Kalian seolah-olah buta, hingga berpura-pura tidak melihat penderitaan kami..

Kalian seolah-olah tuli, hingga berpura-pura tidak mendengar jeritan tangis anak-anak kami yang butuh susu..

Seberapa bebalnya kalian, seberapapun buta dan tulinya kalian..

Camkan baik-baik pesan yang mengalir dari lisan yang penuh api kebencian dan amarah kepada kalian..

Suatu saat nanti, api ini akan membakar dirimu, dan gedung-gedung pencakar langit-mu yang angkuh dan sombong..

Anjing-anjing penjagamu tidak akan dapat menghentikan badai kebencian kami kepadamu..

Sekalipun kalian merobek-robek tubuh kami dengan senjata-senjata yang kalian miliki..

Berapakah peluru yang dapat kalian sediakan untuk kami..

1.000 kah..
1.000.000 kah..
1.000.000.000 kah
1.000.000.000.000 kah

Dan sebanyak apapun kalian menyiapkannya, tidak akan dapat membunuh api kebencian itu..

Kami tetap akan melawan..

Sekalipun yang kami miliki hanya darah, daging dan tulang..

Hidup Rakyat.. Hidup Rakyat.. Hidup Rakyat..

Hidup Perlawanan Rakyat..

Tidak ada komentar