Header Ads

test

PETISI TIAKA BERDARAH

 (Dirampasnya Hak-Hak Masyarakat Adat Nelayan Tiaka)

..Untuk mereka yang gugur, dalam perjuangan membebaskan rakyat yang tertindas dengan dalih legitimasi kekuasaan..

..Pray for Almarhum Yurifin & Marten.. God bless you.. 

Memasuki hari 17 Agustus 2012, Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaanya setelah berhasil mengusir kolonial Penjajah dari wilayah Nusantara. Namun perayaan hari kemerdekaan itu, tidak terasa di kampung-kampung nelayan di wilayah Tiaka, Morowali, Sulawesi Tengah. Masyarakat adat nelayan Tiaka di daerah ini tidak merasakan hadirnya kemerdekaan yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Saat ini, lautan seluas ± 130.000 Ha yang merupakan wilayah ulayat pemancingan masyarakat adat nelayan Tiaka terkena dampak akibat beroperasinya Sumur Minyak Tiaka. Lautan seluas itu tanpa ikan yang bisa di pancing oleh nelayan. Masyarakat adat nelayan Tiaka, bertanya-tanya entah kenapa ikan di wilayah laut mereka menghilang entah kemana. Bahkan kegiatan budi-daya keramba ikan pun, tidak bisa hidup di wilayah perairan ini.

Alhasil wilayah pemancingan nelayan yang diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, bahkan jauh hari sebelum Indonesia merdeka, dirampas oleh konsesi Perusahaan Minyak, dengan dalih kepentingan Negara.

Masyarakat adat nelayan Tiaka, tidak boleh menolak, bahkan tidak boleh melawan keputusan Negara tersebut, karena hal demikian sudah menjadi Legitimasi Negara. Jika masyarakat adat nelayan Tiaka memaksa, maka Negara tidak akan segan-segan memerintahkan pasukan bersenjata lengkap untuk mengusir nelayan dari wilayah konsesi Minyak Tiaka, bahkan perintah tembak di tempat dapat menjadi solusi prosedural yang di izinkan oleh Negara.

Siapakah yang berdaulat di negeri ini. Adakah mereka yang disebut sebagai Presiden? Adakah mereka sebagai DPR? Adakah mereka sebagai Polisi? Adakah mereka sebagai Kepala Daerah?

Apa makna kedaulatan rakyat sebenarnya? Siapa yang memiliki Negara ini? Presiden kah? DPR kah? Polisi kah? Kepala Daerah kah? Apakah Negara boleh memaksakan kehendak mereka untuk merampas harta rakyatnya sendiri?

Entah masyarakat adat nelayan Tiaka di posisikan sebagai warga Negara kelas rendahan, yang harus taat tanpa tawar menawar terhadap simbol-simbol kekuasaan, entah itu Presiden, DPR, Kepala Daerah, atau Polisi.  Yang pasti adalah pengakuan hak-hak asasi masyarakat adat nelayan Tiaka di abaikan oleh Negara yang katanya menjunjung tinggi “human rights” dan keadilan itu.

Nelayan Tiaka merupakan kesatuan masyarakat adat yang mendiami wilayah pesisir sepanjang ± 79 Km. Mereka terbiasa hidup dari aktivitas pemancingan ikan di wilayah ini. Boleh disebut, wilayah laut bagi mereka merupakan ibu bagi masyarakat adat nelayan Tiaka yang menyediakan sumber kehidupan yang tidak akan pernah habis.

Mayoritas masyarakat adat nelayan Tiaka adalah suku Bajo. Kegiatan menangkap ikan, bukan hanya sekedar rutinitas ekonomi semata. Melainkan dipandang sebagai ritual budaya, yang menggambarkan keharmonisan hubungan masyarakat adat nelayan dengan alam, berupa hubungan yang harmonis dengan laut, ikan dan terumbu karang.

Wilayah Tiaka, merupakan hak ulayat masyarakat adat nelayan Tiaka. Ini diartikan sebagai kewenangan menurut hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat adat nelayan Tiaka atas wilayah adat mereka “meliputi laut, ikan dan terumbu karang”, yang merupakan lingkungan hidup nelayan untuk mengambil manfaat dari sumber daya perikanan, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupan, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah yang berlangsung secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah Tiaka.

Mengingat pentingnya untuk melindungi kepentingan masyarakat adat, maka PBB mendeklarasikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang termaktub dalam  ”Declaration on the Rights of Indigenous Peoples” berdasarkan rekomendasi Dewan HAM dengan resolusi 1/2 29 Juni 2006.

Dalam deklarasi PBB tersebut disebutkan bahwa masyarakat adat berhak melaksanakan hak-hak mereka dengan bebas dari dikriminasi dari bentuk apapun ”Reaffirming that indigenous peoples, in the exercise of their rights, should be free from discrimination of any kind”.

Lebih lanjut lagi dalam deklarasi tersebut diakui adanya ketidakadilan terhadap masyarakat adat sebagai akibat “colonization” dan perampasan “dispossession” terhadap tanah, wilayah dan sumber daya mereka, sehingga menghambat masyarakat adat untuk membangun kepentingan mereka sendiri “Concerned that indigenous peoples have suffered from historic injustices as a result of, inter alia, their colonization and dispossession  of their lands, territories and resources, thus preventing them from  exercising, in particular, their right to development in accordance with their own needs and interests”.

Dalam deklarasi tersebut, adanya pengakuan atas hak-hak masyarakat adat yang didasarkan pada budaya, tradisi, sejarah dan filosofi masyarakat adat dan pengakuan akan hak-hak mereka terhadap tanah, wilayah dan sumber daya ”Recognizing the urgent need to respect and promote the inherent  rights of indigenous peoples which derive from their political, economic and social structures and from their cultures, spiritual traditions, histories and philosophies, especially their rights to their lands, territories and resources”.

Deklarasi tersebut juga mendorong upaya untuk mengakhiri segala  bentuk diskriminasi dan tekanan apapun terhadap masyarakat adat. Mereka berhak atas kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya Welcoming the fact that indigenous peoples are organizing them-selves for political, economic, social and cultural enhancement and in order to bring to an end all forms of discrimination and oppression wherever they occur”.

Lebih lanjut lagi, adanya dukungan atas peran masyarakat adat untuk mempertahankan eksistensi mereka dan kesatuan wilayah yang merupakan simbol budaya masyarakat adat, yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan mereka “Convinced that control by indigenous peoples over developments  affecting them and their lands, territories and resources will enable them to maintain and strengthen their institutions, cultures and traditions, and to promote their development in accordance with their aspirations and needs”.

Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap budaya dan praktek-praktek dalam masyarakat adat, termasuk pada pembangunan yang berkeadilan dan pengelolaan lingkungan hidup “Recognizing that respect for indigenous knowledge, cultures and traditional practices contributes to sustainable and equitable development and proper management of the environment”.

Kesemua aspek yang disebutkan dalam deklarasi diatas, merupakan fundamental point yang harus di patuhi oleh Negara dalam memandang konflik berdarah Tiaka. Masyarakat adat nelayan telah kehilangan “rights” berdasarkan deklarasi PBB tersebut. Saat ini mereka dipaksa untuk mematuhi hukum Negara, untuk meninggalkan wilayah ulayat tradisional mereka.

Malapetaka terjadi bagi masyarakat adat nelayan Tiaka, ketika kepentingan masyarakat adat dikalahkan oleh kepentingan Penguasa “Pemerintah Pusat” dan pemilik modal “Medco Energi & Mitsubishi Corporation”. Bagi mereka, wilayah ulayat nelayan Tiaka, hanyalah potensi ekonomi bagi penerimaan APBN semata. Lebih lanjut lagi, masyarakat adat nelayan Tiaka, terpaksa harus hidup tanpa wilayah laut, terutama kehilangan penghidupan ekonomi satu-satunya di wilayah ini.

Lebih lanjut lagi, sejalan dengan program penanggulangan kemiskinan dalam program Development Mellineum Goals (MDG’s) yang telah diratifikasi oleh Indonesia untuk mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan di tahun 2015, Justru Negara melakukan pemiskinan secara sistematis terhadap ribuan nelayan Tiaka dengan cara mengambil alih wilayah pemancingan mereka untuk kepentingan pembangunan sumur minyak Tiaka. Ini adalah bentuk inkonsistensi Negara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di dalam negeri. Rakyat yang sejatinya sejahtera tanpa kehadiran tambang minyak, justru babak belur setelah operasi sumur minyak dilakukan di wilayah Tiaka.

Kembali ke konstitusi negara, yaitu dalam Pasal 27 ayat (2) Perubahan UUD  1945 disebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga Negara berhak  atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.  Dalam konteks Tiaka, negara telah menghianati pesan konstitusi tersebut, dimana wilayah ulayat nelayan Tiaka, yang merupakan sumber aktivitas ekonomi satu-satunya bagi masyarakat adat nelayan, di rampas oleh kepentingan Modal yang lebih besar. Investasi Perusahaan raksasa seperti Medco Energi dan Mitsubishi menjadi pilihan utama Negara, karena menjanjikan Dolar yang sangat besar bagi kepentingan Negara.

Dengan demikian, modal nelayan yang hanya mengandalkan alat pancing, jaring, dan perahu dikalahkan oleh Rig Sumur Minyak dan Tanker Minyak Korporasi Raksasa. Modal nelayan yang hanya puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah, dikalahkan oleh modal ratusan miliar hingga Triliunan rupiah para pemilik modal Raksasa.

Atas peristiwa, yang telah memaksa masyarakat adat nelayan Tiaka, untuk melakukan perlawanan atas  ketidakadilan ekonomi, dan hak-hak adat mereka, yang melahirkan tragedi berdarah Tiaka, maka dengan ini masyarakat adat nelayan Tiaka mendeklarasikan Petisi Tiaka Berdarah, 22 Agustus 2011 sebagai berikut: 
  1. Mendesak Negara mengakui hak-hak ulayat nelayan Tiaka terhadap wilayah laut dan terumbu karang Tiaka.
  2. Masyarakat adat nelayan Tiaka adalah warga negara Indonesia yang harus dilindungi kepentingannya demi kemanusiaan.
  3. Kembalikan lahan pemancingan ulayat nelayan Tiaka yang telah dirampas oleh Negara yang telah diberikan kepada Investor minyak (Medco Energi dan Mitsubishi) melalui konsesi PSC minyak Tiaka di Blok Senoro Toili.
  4. Hancurnya ekosistem Terumbu Karang yang dilakukan pasca reklamasi untuk pembangunan sumur minyak Tiaka harus dikembalikan seperti sedia kala.
  5. Menuntut negara yang telah melakukan pembiaran atas ”ekosida” wilayah laut dan terumbu karang Tiaka.
  6. Menuntut Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menangkap dan mengadili 19 Anggota Polisi yang terlibat dalam penembakan warga dan mahasiswa di Tiaka ke Peradilan yang terbuka untuk umum.
  7. Mencopot Kapolres Morowali AKBP Suhirman dan Kapolda Sulteng Brigjen Pol Dewa Parsana atas keterlibatan mereka dalam tragedi berdarah Tiaka.